Pages - Menu

Minggu, 20 Juli 2025

Dari Eropa ke Era Kini: Peran Pemimpin Agama dalam Membentuk Toleransi atau Intoleransi

Toleransi atau intoleransi beragama bukan hanya persoalan teks kitab suci atau ajaran spiritual, tetapi sangat ditentukan oleh tafsir, dan tafsir tidak lahir di ruang hampa. Ia dibentuk oleh pemimpin agama, yang secara sadar atau tidak, memandu arah moral, sosial, dan bahkan politik dari umat yang mereka layani.

Dalam sejarah panjang agama-agama besar dunia, terlihat jelas bahwa pemimpin agama memegang kunci penting: apakah umat diarahkan untuk merangkul perbedaan, atau justru mencurigainya.

Tafsir Teologis Tidak Netral: Bergantung pada Pemimpin dan Afiliasi

Agama selalu membutuhkan tafsir. Namun, tafsir adalah hasil dari pilihan manusia, dan sering kali, pemimpin agama menjadi penafsir utama yang didengarkan umatnya. Tafsir itulah yang bisa mengarahkan pemahaman bahwa orang lain adalah sesama manusia yang patut dihormati, atau musuh yang harus dihindari.

Lebih jauh, pemimpin agama sering kali tidak netral. Mereka:

Terikat pada tradisi atau mazhab tertentu, yang punya batasan terhadap kelompok lain.

Memiliki afiliasi politik atau relasi kuasa dengan penguasa.

Bertindak sebagai penjaga identitas kolektif kelompok, sehingga mempertahankan batas “kami” dan “mereka”.

Dengan posisi strategis seperti itu, pemimpin agama menjadi penentu arah: apakah kelompok agama akan inklusif atau eksklusif.

Studi Kasus: Eropa Abad Pertengahan dan Reformasi

Sejarah Eropa adalah contoh klasik tentang bagaimana tafsir dan kepemimpinan agama bisa berujung pada konflik atau perpecahan:

1. Gereja Katolik Abad Pertengahan memegang kendali penuh atas tafsir Alkitab. Pemimpin gereja tidak hanya menjadi tokoh spiritual, tetapi juga penguasa moral dan sosial.

Inkuisisi, pengucilan (excommunication), dan perang salib adalah konsekuensi dari tafsir eksklusif yang dikelola secara hierarkis.

2. Reformasi Protestan yang dipelopori oleh Martin Luther menantang otoritas itu. Ia menyerukan bahwa setiap orang bisa menafsirkan Alkitab sendiri.

Muncul perpecahan besar: Katolik vs Protestan, yang kemudian melahirkan perang agama, seperti Perang Tiga Puluh Tahun (1618–1648).

Apa yang tampak sebagai perbedaan tafsir teologis, sering kali diboncengi oleh kepentingan politik, perebutan kekuasaan, dan nasionalisme yang tumbuh di masa itu.

Pola yang Masih Berlaku di Era Kini

Meskipun zaman sudah berubah, pola yang sama masih terjadi hari ini:

Ada pemimpin agama yang membangun wacana damai dan persaudaraan lintas iman, misalnya melalui dialog antaragama atau pendekatan humanistik.

Tapi ada pula yang mempersempit tafsir agama, memonopoli kebenaran, dan membangun narasi ancaman terhadap “orang luar.”

Kita menyaksikan sendiri bagaimana narasi agama bisa digunakan untuk memecah-belah, terutama ketika pemimpin agama:

Terlibat dalam politik praktis,

Mengklaim bahwa kelompok lain adalah “sesat” atau “musuh iman,”

Menggunakan mimbar keagamaan untuk kampanye kebencian.

Umat: Cerminan dari Pemimpinnya

Kita tak bisa menutup mata bahwa banyak umat menjalankan keyakinannya berdasarkan arahan pemimpinnya, bukan dari studi pribadi. Dalam masyarakat yang masih menghormati otoritas religius, suara pemimpin adalah rujukan moral tertinggi.

Oleh karena itu, penting bagi pemimpin agama untuk:

Mendorong pemahaman agama yang kritis, dewasa, dan kontekstual,

Menumbuhkan semangat inklusi dan kemanusiaan, bukan polarisasi,

Menjaga jarak dari kepentingan kekuasaan yang bisa memanipulasi tafsir demi tujuan duniawi.

Penutup: Saatnya Kita Kritis terhadap Tafsir dan Pemimpin

Toleransi bukan sekadar sikap pribadi, tapi hasil dari narasi kolektif yang dibentuk oleh tokoh-tokoh yang kita ikuti. Dalam konteks keagamaan, para pemimpin memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa ajaran yang mereka sampaikan menumbuhkan kasih, bukan kebencian.

Sebagai umat, penting bagi kita untuk:

Menyadari bahwa tidak semua tafsir adalah mutlak,

Tidak menelan mentah-mentah ajaran yang mencurigai atau mendiskriminasi yang berbeda,

Dan berani bertanya: Apakah ini sungguh ajaran cinta dan kebaikan? Atau hanya suara ideologi yang diselubungi agama?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar