Di Mana Letak Kebahagiaan menurut Machiavelli? Lebih fokus lagi, apa yang membuat seorang pemimpin merasa bahagia? Bagi banyak orang, kebahagiaan berarti hidup damai, adil, atau dicintai. Namun bagi Niccolò Machiavelli, filsuf politik asal Italia yang terkenal karena karyanya The Prince, mengungkap kebahagiaan tidak datang dari hal-hal idealistik seperti itu. Ia memandang kebahagiaan dari sudut yang lebih keras, dingin, dan strategis: kuasa yang berhasil diraih dan dijaga dari segala ancaman.
Machiavelli tidak menulis secara eksplisit tentang kebahagiaan seperti para filsuf moral. Ia tidak tertarik membahas kebahagiaan batin, kesenangan pribadi, atau kebajikan moral. Sebaliknya, ia melihat dunia politik sebagai arena keras di mana seorang penguasa harus bertahan hidup, menang atas musuh, dan menundukkan rakyat demi stabilitas negara.
Bagi Machiavelli, kebahagiaan adalah ketika seseorang telah menaklukkan musuh-musuhnya, mengamankan kekuasaannya, dan merasa tenang menguasai situasi politik.
Virtù dan Fortuna: Kunci Menuju Kebahagiaan Machiavellian
Dalam kerangka pikir Machiavelli, ada dua konsep penting yang membentuk cara seorang pemimpin mencapai keberhasilannya:
-
Virtù: bukan kebajikan moral, tetapi kemampuan strategis, keberanian, dan kecerdikan yang membuat seorang pemimpin mampu mengendalikan situasi.
-
Fortuna: keberuntungan atau nasib, kekuatan luar yang tak bisa diprediksi. Penguasa yang cerdas akan menaklukkan fortuna dengan virtù-nya.
Ketika seorang pemimpin berhasil menggunakan virtù untuk menundukkan fortuna, mengalahkan musuh politik, dan menciptakan ketertiban dalam kekacauan, itulah bentuk kebahagiaan sejati menurut Machiavelli.
Machiavelli seolah mengatakan bahwa seorang penguasa akan merasakan ketenangan atau kalau kita mengartikan sebagai kebahagiaan setelah:
1. Kekuasaan sebagai Tujuan Tertinggi
Machiavelli memandang kekuasaan sebagai realitas yang harus dipahami dan dikelola dengan cerdik. Ia tidak tertarik pada apakah penguasa itu “baik” dalam arti moral, melainkan apakah ia efektif dalam memerintah. Maka, “kebahagiaan” adalah ketika kekuasaan:
-
Dicapai dengan sukses (melalui perang, strategi, kelicikan, atau diplomasi),
-
Dipertahankan dari ancaman internal dan eksternal,
-
Digunakan untuk menciptakan stabilitas dan kemakmuran negara.
2. Kemenangan atas Lawan Politik
Machiavelli melihat politik sebagai arena konflik. Dalam The Prince, ia menyarankan bahwa seorang penguasa tidak boleh ragu untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya secara tegas jika itu diperlukan untuk menjaga negara dari kekacauan. Jadi, “kebahagiaan” juga mencakup kemampuan menaklukkan musuh dan menjinakkan kekuatan yang berpotensi menggulingkan stabilitas.
3. Penguasaan atas Rakyat
Namun, Machiavelli tidak mendorong tirani yang membabi buta. Ia menyarankan agar seorang penguasa juga memperhatikan citra dan dukungan rakyat, karena kekuasaan yang stabil membutuhkan legitimasi. Ia menulis bahwa:
“Lebih aman dicintai dan ditakuti, tetapi jika harus memilih, lebih baik ditakuti daripada dicintai.”
Artinya, kebahagiaan juga datang dari keberhasilan mengendalikan rakyat tanpa harus membuat mereka memberontak—melalui rasa hormat, rasa takut, atau citra kepemimpinan yang kuat.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa situasi ini bersifat sementara. Dunia politik selalu berubah, dan penguasa sejati harus tetap waspada. Maka, kebahagiaan itu bukan hadiah abadi, melainkan hasil dari perjuangan yang terus diperbarui.
Jadi Kebahagiaan yang Realistis, Bukan Idealistis. Dalam dunia Machiavelli, kebahagiaan bukanlah milik mereka yang bersih dan bermoral, melainkan milik mereka yang berhasil dan cerdas. Seorang pemimpin tidak harus dicintai, cukup ditakuti—asal mampu menjaga kestabilan dan keamanan negara.
Dengan kata lain, kebahagiaan menurut Machiavelli adalah rasa tenang yang lahir setelah kekuasaan berhasil diraih, lawan politik ditaklukkan, dan semua risiko dikendalikan.

Tidak ada komentar: