Dari luar, bentuk fisik Chromebook nyaris tak bisa dibedakan dengan laptop konvensional. Namun begitu dinyalakan dan digunakan, akan terlihat jelas perbedaannya. Pengguna yang terbiasa dengan Windows atau Linux akan langsung merasa asing, terutama ketika menyadari bahwa sebagian besar fungsi Chromebook bergantung pada koneksi internet.
Pengalaman pribadi menggunakan Chromebook menguatkan kesan bahwa perangkat ini bukan sekadar laptop murah, melainkan jenis komputer berbasis cloud yang memang didesain untuk ekosistem digital Google. Dalam kondisi ideal—dengan jaringan Wi-Fi cepat dan stabil—Chromebook bekerja ringan dan efisien. Tapi begitu dipakai di wilayah dengan jaringan terbatas, seperti desa atau kampung, perangkat ini nyaris tak berfungsi. Istilah kasarnya: mati gaya.
Ini menjadi sangat relevan ketika publik mulai membicarakan kembali pengadaan besar-besaran Chromebook di masa Menteri Pendidikan Nadiem Makarim. Banyak orang mengira pemerintah sedang membagikan laptop seperti umumnya, yang bisa langsung digunakan untuk bekerja atau belajar tanpa terlalu bergantung pada koneksi. Kenyataannya, yang dibagikan adalah Chromebook, bukan laptop serbaguna berbasis Windows.
Chromebook vs Laptop: Sekilas Mirip, Fungsinya Jauh Berbeda
Sebagai perangkat, Chromebook memang dirancang untuk mengakses layanan Google—Docs, Drive, Classroom, dan sejenisnya. Aplikasi utama hanya bisa digunakan secara maksimal ketika terhubung ke internet. Jika tak ada sinyal, banyak fungsi penting tak bisa diakses. Bahkan untuk mengedit dokumen, pengguna harus mengaktifkan mode offline terlebih dahulu—yang tentu saja butuh internet saat awal pengaturannya.
Sementara itu, ponsel Android, yang kadang dianggap lebih terbatas, justru bisa digunakan dalam kondisi tanpa jaringan. File bisa dibuka, musik bisa didengar, bahkan beberapa aplikasi tetap aktif secara lokal. Dari segi fleksibilitas, Chromebook justru kalah dari ponsel dalam konteks penggunaan harian di daerah yang belum merdeka secara digital.
Harga Murah yang Bisa Menjadi Mahal
Secara nominal, Chromebook memang tergolong murah. Ini bisa jadi alasan utama di balik kebijakan pengadaannya dalam jumlah besar. Tapi murah tidak selalu berarti efisien, apalagi bila perangkat tersebut tak dapat digunakan secara optimal oleh penerima manfaat. Di banyak sekolah pedesaan, koneksi Wi-Fi masih menjadi barang langka. Bahkan sinyal seluler pun kerap lemah, apalagi untuk jaringan 4G atau 5G.
Akhirnya, Chromebook hanya tersimpan di lemari atau menjadi pajangan teknologi yang tidak menyelesaikan masalah pembelajaran digital.
Bias Kota dalam Kebijakan Digital
Masalah pokok dari kebijakan pengadaan Chromebook adalah asumsi keliru bahwa seluruh Indonesia telah siap secara infrastruktur digital. Ini mencerminkan bias kota besar dalam merancang solusi pendidikan nasional. Padahal, ketimpangan akses internet masih menjadi hambatan utama pendidikan daring di banyak wilayah luar Jawa dan pelosok desa.
Di sinilah pentingnya pendekatan kontekstual. Alih-alih menyamaratakan solusi, kebijakan digital seharusnya dibuat dengan memperhatikan kebutuhan dan kondisi riil lapangan. Chromebook bisa menjadi alat bantu yang hebat di lingkungan dengan internet kuat, tapi menjadi beban di tempat yang tidak memiliki jaringan.
Kurangnya Edukasi tentang Chromebook
Selain infrastruktur, persoalan lain yang muncul adalah minimnya edukasi tentang Chromebook itu sendiri. Banyak guru dan siswa mengira perangkat yang mereka terima bisa langsung digunakan seperti laptop biasa. Mereka tidak diberi informasi cukup mengenai cara mengatur mode offline, batasan aplikasi, atau perlunya akun Google untuk memaksimalkan fungsi.
Hal ini menimbulkan kebingungan di awal, bahkan frustrasi. Perangkat yang seharusnya mempermudah proses belajar justru menjadi sumber masalah baru karena tidak sesuai ekspektasi dan tidak disertai pendampingan penggunaan.
Harusnya Teknologi Mengikuti Kondisi, Bukan Sebaliknya
Pengadaan Chromebook dalam konteks pendidikan seharusnya menjadi pelajaran penting bagi pengambil kebijakan: teknologi yang digunakan harus relevan dengan konteks sosial, geografis, dan infrastruktur. Jangan sampai karena semangat digitalisasi, kita melupakan kenyataan di lapangan.
Solusi digital harus bersifat inklusif, adaptif, dan aplikatif. Bukan hanya meniru tren global, tapi benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat di berbagai level. Pendidikan tidak akan maju hanya karena alatnya baru. Ia akan tumbuh ketika kebijakannya menyentuh realita—bukan hanya kota, tapi juga desa dan pelosok.
Penutup:
Chromebook bisa menjadi alat bantu pendidikan yang efektif—asal digunakan di tempat dan waktu yang tepat. Namun ketika digunakan tanpa memperhatikan kesiapan infrastruktur dan minimnya edukasi pemakaian, maka perangkat ini bisa menjadi simbol kegagalan implementasi teknologi dalam dunia pendidikan. Sudah saatnya kita lebih berhati-hati memilih alat bantu belajar. Karena yang paling penting dari pendidikan bukanlah apa yang digunakan, melainkan untuk siapa dan di mana ia digunakan.

Tidak ada komentar: