Pertanyaan klasik dalam teori politik dan kebangsaan adalah: haruskah negara tunduk pada satu agama, atau agama yang berada di bawah hukum negara? Bisa jadi kita enggan untuk mendiskusikannya karena wilayah ini wilayah sensitif yang bisa salah ucap, menjadi masalah. Tapi tulisan ini muncul ketika CNBC menurunkan beberapa artikel berita yang membahas mengenai fenomena di Timur Tengah di mana beberapa orang memilih untuk meninggalkan agama. Sebagian tidak suka dengan berita tersebut dan dianggap mengada-ada. Tapi sekarang kita hidup di mana informasi tak bisa lagi menjadi milik siapapun, tapi untuk semua.
Sesekali halaman web blog ini berisi tulisan yang sedikit serius untuk mengangkat tema-tema yang bertujuan untuk memberikan wawasan terbuka, berpikir kritis dan tentu tidak meninggalkan landasan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Fenomena yang muncul di berbagai negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, Iran, dan Mesir memberikan gambaran menarik. Di tengah dominasi agama sebagai bagian dari hukum negara, diam-diam tumbuh gelombang warga yang memilih meninggalkan agama, entah menjadi ateis, agnostik, atau sekadar menjauh dari praktik keagamaan formal. Mereka tidak selalu menolak nilai-nilai spiritual, tetapi menolak dominasi agama sebagai alat kekuasaan.
Negara dan Agama
Di banyak negara dengan sistem teokratis atau semi-teokratis, agama dijadikan fondasi hukum dan identitas politik. Dalam kondisi seperti itu. Dalam hal ini negara menentukan siapa yang berhak menafsirkan kebenaran. Institusi agama menjadi bagian dari sistem kekuasaan. Warga yang berbeda keyakinan atau memilih keluar dari agama resmi sering dianggap pengkhianat.
Akibatnya, agama kehilangan sisi rohani yang personal, dan berubah menjadi simbol politik. Banyak warga, terutama generasi muda, melihat agama bukan sebagai jalan damai, tetapi sebagai sumber ketakutan, tekanan, dan konflik identitas. Di sinilah muncul fenomena dekonversi agama atau religious disaffiliation sebagai bentuk perlawanan diam-diam terhadap hegemoni spiritual negara.
Negara sebagai Wasit, Bukan Pemain
Negara ideal dalam masyarakat plural seharusnya berdiri di atas semua golongan, termasuk golongan agama. Ia tidak berpihak, tetapi menjamin hak warga untuk meyakini atau tidak meyakini sebuah kepercayaan, sesuai suara hati dan nurani.
Konsep ini berakar dalam prinsip sekularisme demokratis, di mana, Negara tidak mengatur isi keimanan, hanya membatasi tindakan bila mengganggu hak orang lain. Negara melindungi minoritas, termasuk kelompok yang tidak menganut agama sekalipun. Negara bertindak sebagai wasit yang adil, bukan pemain yang ikut membela satu kepercayaan.
Model ini tidak berarti anti-agama. Sebaliknya, ia memberi ruang aman bagi siapa pun untuk beragama dengan tulus, bukan karena takut dihukum atau dikucilkan.
Menjaga Keberagaman Nurani, Menghindari Politisasi Agama
Kebebasan beragama bukan hanya soal membiarkan orang membangun rumah ibadah. Ia juga mencakup kebebasan berpikir, mempertanyakan, bahkan meninggalkan keyakinan kemudian memilih keyakinan lain, tanpa ancaman sosial atau hukum.
Dalam masyarakat modern, negara yang memaksakan satu tafsir agama justru membuka ruang bagi munculnya skeptisisme dan perlawanan batin. Sebaliknya, negara yang menghargai kebebasan nurani akan membentuk masyarakat yang lebih jujur, damai, dan spiritual tanpa paksaan.
Penutup: Negara Adil, Rakyat Bebas Beragama
Fenomena meninggalkan agama di Timur Tengah bisa dibaca bukan sebagai pemberontakan terhadap Tuhan, tapi sebagai protes terhadap sistem yang memonopoli Tuhan untuk kekuasaan. Negara seharusnya belajar dari hal ini: agama yang tumbuh dalam ruang bebas akan lebih tulus dan tahan uji.
Negara yang kuat bukan yang bisa memaksa rakyatnya beragama seragam, tapi yang bisa mengelola keragaman iman dengan bijak, adil, dan setara.

Tidak ada komentar: