<!-- SEO Blogger Start --> <meta content='text/html; charset=UTF-8' http-equiv='Content-Type'/> <meta content='blogger' name='generator'/> <link href='https://www.makkellar.com/favicon.ico' rel='icon' type='image/x-icon'/> <link href='https://www.makkellar.com/2025/05/indonesia-pemenang-flourishing-antara.html' rel='canonical'/> <link rel="alternate" type="application/atom+xml" title="Menjadi Perantara Menuju Jalan Sejahtera - Atom" href="https://www.makkellar.com/feeds/posts/default" /> <link rel="alternate" type="application/rss+xml" title="Menjadi Perantara Menuju Jalan Sejahtera - RSS" href="https://www.makkellar.com/feeds/posts/default?alt=rss" /> <link rel="service.post" type="application/atom+xml" title="Menjadi Perantara Menuju Jalan Sejahtera - Atom" href="https://www.blogger.com/feeds/2646944499045113697/posts/default" /> <link rel="alternate" type="application/atom+xml" title="Menjadi Perantara Menuju Jalan Sejahtera - Atom" href="https://www.makkellar.com/feeds/8277553714628802697/comments/default" /> <!--Can't find substitution for tag [blog.ieCssRetrofitLinks]--> <link href='https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJvRMwoXY0zo-CvTy0p5fgAf23hcPNDKmXqi7rACJfbxcwhatgs0zcIC1UqYlpi4Nh8nKBzxDnFagqgfA1t-bcf3L9c6nUSOOJcIo-_kcFzIU2sTy171OpAVhc3C9b5_1p9ADwWYXAE4MuJBLydlfOxTTirqhTuPJyLQ_N0fWKDxRrxKyQx5an81-qWUg/s320/Ketika%20Indonesia%20Mengungguli%20Negara%20Maju%20Soal%20yang%20Satu%20ini.jpg' rel='image_src'/> <meta content='Flourishing sebagai gabungan antara pandangan hidup bahagia dan realitas kebahagiaan yang dialami masyarakat, dari Aristoteles hingga riset Harvard' name='description'/> <meta content='https://www.makkellar.com/2025/05/indonesia-pemenang-flourishing-antara.html' property='og:url'/> <meta content='Indonesia Pemenang Flourishing: Antara Pandangan Hidup Bahagia dan Realitas Kebahagiaan Masyarakat' property='og:title'/> <meta content='Flourishing sebagai gabungan antara pandangan hidup bahagia dan realitas kebahagiaan yang dialami masyarakat, dari Aristoteles hingga riset Harvard' property='og:description'/> <meta content='https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJvRMwoXY0zo-CvTy0p5fgAf23hcPNDKmXqi7rACJfbxcwhatgs0zcIC1UqYlpi4Nh8nKBzxDnFagqgfA1t-bcf3L9c6nUSOOJcIo-_kcFzIU2sTy171OpAVhc3C9b5_1p9ADwWYXAE4MuJBLydlfOxTTirqhTuPJyLQ_N0fWKDxRrxKyQx5an81-qWUg/w1200-h630-p-k-no-nu/Ketika%20Indonesia%20Mengungguli%20Negara%20Maju%20Soal%20yang%20Satu%20ini.jpg' property='og:image'/> <!-- Title --> <title> Bukan makelar tapi Menjadi peranta untuk kebaikan bersama Indonesia Pemenang Flourishing: Antara Pandangan Hidup Bahagia dan Realitas Kebahagiaan Masyarakat - Menjadi Perantara Menuju Jalan Sejahtera Indonesia Pemenang Flourishing: Antara Pandangan Hidup Bahagia dan Realitas Kebahagiaan Masyarakat - Menjadi Perantara Menuju Jalan Sejahtera

Indonesia Pemenang Flourishing: Antara Pandangan Hidup Bahagia dan Realitas Kebahagiaan Masyarakat


Studi Harvard: Ketika Indonesia Mengungguli Negara Maju

Temuan paling mencolok dari studi Global Flourishing adalah bahwa Indonesia menempati peringkat tertinggi dalam indeks flourishing global. Di sisi lain, negara-negara seperti Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat justru mengalami penurunan.

Apa artinya? Meski secara ekonomi Indonesia belum setara dengan negara-negara maju, masyarakatnya memiliki relasi sosial yang kuat, keterlibatan keagamaan yang tinggi, dan rasa makna hidup yang besar. Di sini kita melihat bahwa flourishing bukanlah hak istimewa negara kaya, melainkan refleksi dari kualitas kehidupan batin dan keterhubungan sosial.

Menemukan Keseimbangan: Flourishing sebagai Tujuan Sosial

Jika kita menganggap flourishing sebagai tujuan hidup yang ideal, maka tugas kita bukan hanya merancang pandangan tentang apa itu hidup yang baik, tetapi juga membangun sistem yang memungkinkan semua orang mengalami hidup yang baik itu.

Ini berarti:

Pendidikan harus melatih karakter, bukan hanya keterampilan.

Ekonomi harus menopang relasi sosial, bukan menggantikannya.

Kesehatan mental harus diprioritaskan setara dengan kesehatan fisik.

Kebijakan publik harus mendorong komunitas, bukan sekadar konsumen.

Flourishing mengajarkan bahwa kehidupan yang berkembang adalah kehidupan yang utuh, di mana pikiran, tubuh, jiwa, dan komunitas berjalan bersama.

Ketika kita mendengar kata bahagia, yang terlintas biasanya adalah perasaan ringan di dada, senyum yang lepas, atau momen-momen kecil yang membuat hidup terasa menyenangkan. Namun, bagaimana jika kebahagiaan itu bukan sekadar perasaan, melainkan sebuah kondisi hidup yang utuh—yang disebut flourishing?

Dalam dekade terakhir, istilah flourishing semakin sering muncul dalam kajian psikologi positif, sosiologi, bahkan kebijakan publik. Salah satu studi terbesar yang baru saja dirilis, Global Flourishing Study dari Harvard University, menyajikan data dari ribuan orang di berbagai negara untuk menjawab pertanyaan ini: Apa yang membuat kehidupan seseorang benar-benar berkembang?

Namun sebelum menjawabnya, kita perlu menggali ke akar maknanya: apakah flourishing adalah hasil dari pandangan hidup yang bahagia, atau justru realitas kebahagiaan itu sendiri yang dialami oleh masyarakat?

Flourishing dalam Tradisi Filsafat: Eudaimonia ala Aristoteles

Jauh sebelum psikolog modern berbicara tentang kesejahteraan holistik, filsuf Yunani kuno Aristoteles telah mengembangkan konsep eudaimonia. Bagi Aristoteles, eudaimonia bukan sekadar kebahagiaan dalam pengertian emosional, tetapi “hidup yang baik”—yakni hidup yang dijalani dengan kebajikan, makna, dan tujuan.

Dalam kerangka ini, flourishing adalah buah dari pandangan hidup: ketika seseorang memiliki nilai yang mendalam, arah hidup yang jelas, dan relasi yang sehat dengan sesama. Kebahagiaan sejati bukan sekadar kenikmatan atau pencapaian materi, melainkan keseimbangan antara tindakan dan tujuan hidup.

Namun, apakah pandangan hidup yang baik otomatis membuat seseorang merasa bahagia?

Dari Pandangan ke Realitas: Pengalaman Hidup yang Nyata

Inilah bagian yang menarik. Flourishing tidak berhenti di tingkat ideal atau filsafati. Dalam riset empiris seperti yang dilakukan Harvard, flourishing diukur melalui enam aspek kehidupan:

1. Kebahagiaan dan kepuasan hidup

2. Kesehatan fisik dan mental

3. Makna dan tujuan hidup

4. Karakter dan kebajikan

5. Hubungan sosial

6. Stabilitas finansial

Dengan kata lain, flourishing adalah jembatan antara pemikiran dan pengalaman. Anda mungkin percaya pada hidup yang bermakna, tapi tanpa kesehatan mental atau dukungan sosial, keyakinan itu sulit diwujudkan. Sebaliknya, seseorang bisa memiliki kenyamanan finansial, tapi merasa kosong jika hidupnya kehilangan arah.

Penutup: Kebahagiaan yang Mengakar

Akhirnya, pertanyaan awal kembali mengemuka: apakah flourishing adalah hasil dari pandangan tentang hidup bahagia, atau realitas kebahagiaan itu sendiri?

Jawabannya mungkin: keduanya. Pandangan hidup memberi arah, tapi pengalamanlah yang mengakar. Kita tidak bisa mengklaim bahagia jika hidup tidak dirasakan sebagai utuh, bermakna, dan terhubung.

Flourishing mengundang kita untuk mengubah cara kita melihat kebahagiaan, bukan sekadar apa yang kita rasakan, tapi bagaimana kita menjalani hidup secara utuh.

Indonesia Pemenang Flourishing: Antara Pandangan Hidup Bahagia dan Realitas Kebahagiaan Masyarakat Indonesia Pemenang Flourishing: Antara Pandangan Hidup Bahagia dan Realitas Kebahagiaan Masyarakat Reviewed by Admin Brinovmarinav on 21.57 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.