Dalam dunia yang semakin sibuk mengejar pencapaian, keuntungan, dan validasi sosial, kata altruisme mungkin terdengar asing—atau bahkan dianggap terlalu idealis. Padahal, pada dasarnya, altruisme bukanlah konsep asing dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita pernah menyaksikannya, merasakannya, bahkan mungkin menjadi pelakunya, walau tak kita sadari.
Apa Itu Altruisme?
Secara sederhana, altruisme adalah sikap mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri. Seseorang yang altruis akan membantu orang lain tanpa pamrih—tanpa mengharapkan balasan, pujian, atau keuntungan pribadi.
Tetapi dalam kenyataannya, mungkinkah manusia mampu bersikap benar-benar altruis?
Antara Cinta dan Harapan
Salah satu contoh paling dekat dari altruisme adalah kasih seorang ibu. Seorang ibu rela tidak tidur, menahan lapar, bekerja keras, semua demi anaknya. Ia tidak menghitung apa yang telah ia beri. Kasih itu mengalir begitu saja, tulus dan dalam.
Namun, dalam perjalanan waktu, budaya bisa menanamkan harapan di balik kasih itu. Harapan bahwa anak akan berbakti. Harapan bahwa saat tua, akan ada yang merawat. Harapan bahwa segala pengorbanan akan dikenang dan dibalas. Apakah itu salah? Tidak. Itu manusiawi. Tapi di titik ini, kita perlu jujur bahwa kasih sayang pun bisa dirasuki oleh harapan-harapan sosial.
Agama dan Altruisme: Cinta atau Transaksi?
Dalam ajaran agama, memberi dan berbuat baik sangat dianjurkan. Namun sering kali, nilai itu dibarengi dengan iming-iming pahala, surga, atau balasan di kehidupan setelah mati. Apakah itu berarti tidak tulus?
Tergantung bagaimana kita memaknainya. Jika seseorang berbuat baik semata-mata karena cinta kepada Tuhan dan sesama, maka pahala adalah konsekuensi, bukan tujuan. Namun jika niatnya semata demi ganjaran, maka tindakan itu menjadi transaksional.
Kita tidak sedang menyalahkan sistem keyakinan. Justru kita diajak untuk menyadari bahwa niat adalah ruang yang paling pribadi—dan di sanalah letak ujian keikhlasan.
Altruisme: Tidak Sempurna, Tapi Mungkin
Sebagian orang mungkin berpikir bahwa altruisme sejati hanya mungkin bagi para suci atau tokoh spiritual yang hidup dalam kesunyian dan meditasi. Tapi sebenarnya, kita semua punya potensi itu—dalam skala yang realistis dan manusiawi.
Menyapa orang yang terabaikan tanpa mengharapkan balasan.
Membantu teman meski tidak sedang butuh bantuan balik.
Mengulurkan tangan tanpa merasa lebih mulia.
Memberi tempat duduk kepada orang tua, walau sedang lelah.
Tindakan kecil seperti ini adalah benih-benih altruisme. Ia tidak memerlukan panggung besar, tidak juga pengakuan. Ia hanya butuh hati yang mau berbuat baik, meski dunia tidak melihat.
Akhirnya: Menjadi Baik, Meskipun Dunia Tak Selalu Membalas
Dalam kehidupan nyata, mungkin kita tidak akan selalu dihargai atas kebaikan kita. Tapi bukan itu yang membuat kita berhenti menjadi baik. Karena seperti kata bijak:
“Jadilah baik, bukan karena dunia selalu adil, tapi karena kebaikan itu sendiri yang akan menyelamatkan jiwamu.”
Altruisme bukan tentang menjadi sempurna. Tapi tentang menjadi manusia yang berusaha, memberi, mencinta, dan melepaskan.
Catatan Penutup
Jika kita bisa melakukan satu hal baik hari ini tanpa mengharapkan apa-apa kembali, maka kita sedang melatih diri menjadi bagian dari perubahan dunia yang lebih hangat. Dan itu, menurut saya, sudah cukup untuk membuat hidup ini lebih bermakna.

Tidak ada komentar: