Belakangan ini muncul isu sensitif namun penting: kabarnya, pemerintah Indonesia tengah mempertimbangkan penggunaan data pribadi warga negara sebagai bagian dari strategi diplomatik dan dagang dengan Amerika Serikat, terutama dalam konteks hubungan dengan mantan Presiden Donald Trump yang kini kembali berpengaruh secara politik. Apakah benar data pribadi kita bisa dijadikan alat tawar untuk mengurangi beban tarif impor atau menarik investasi asing?
Kalau kabar ini benar, maka ada satu pertanyaan besar yang patut kita ajukan: Apakah negara boleh menjual data rakyatnya demi keuntungan ekonomi jangka pendek?
🧩 Apa Itu Data Pribadi dan Kenapa Harus Dilindungi?
Data pribadi bukan sekadar deretan nama atau nomor identitas. Ia mencakup informasi sensitif tentang siapa diri kita, mulai dari:
NIK, alamat, nomor telepon
Lokasi yang sering kita kunjungi
Kebiasaan belanja online
Rekam medis dan kesehatan
Riwayat pendidikan, pekerjaan, bahkan preferensi politik atau agama
Jika jatuh ke tangan yang salah, data ini bisa:
Digunakan untuk penipuan atau pencurian identitas
Dimanfaatkan untuk iklan manipulatif
Dipakai untuk mengawasi dan membentuk opini masyarakat secara sistematis, seperti yang terjadi dalam kasus skandal Cambridge Analytica
🏛️ UU PDP dan Kedaulatan Digital: Bukan Sekadar Regulasi
Indonesia sudah punya UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Undang-undang ini merupakan langkah maju dalam melindungi hak digital warga. Namun, sampai hari ini, implementasinya masih lemah:
Belum ada lembaga pengawas independen yang kuat
Banyak instansi pemerintah dan swasta tidak menerapkan standar perlindungan yang memadai
Rakyat masih belum diedukasi soal hak-hak mereka atas data
Lebih dari itu, data pribadi adalah bagian dari kedaulatan digital. Negara tidak bisa sembarangan memperdagangkannya, apalagi kepada negara asing, hanya demi mendapatkan kelonggaran tarif impor atau investasi teknologi.
🌐 Belajar dari Eropa: Ketegasan Melindungi Warga Digital
Bulan ini, Pengadilan Umum Uni Eropa (EU General Court) menjatuhkan sanksi besar kepada Meta (perusahaan induk Facebook dan Instagram). Meta dianggap melanggar aturan GDPR (General Data Protection Regulation) karena memindahkan data warga Eropa ke Amerika Serikat tanpa perlindungan memadai.
Hasilnya:
Meta didenda miliaran euro
Ditekan untuk membatasi praktik pengumpulan data yang agresif
Pesannya jelas: data warga bukan komoditas global, dan negara bertanggung jawab untuk menjaga privasi warganya dari campur tangan korporasi asing.
🧠 Mengapa Kita Harus Waspada?
Jika benar pemerintah Indonesia bersedia menjadikan data rakyat sebagai bagian dari tawar-menawar dagang dengan kekuatan besar seperti Amerika Serikat, maka kita berada di titik rawan:
Hak individu dilangkahi demi kepentingan negara
Kebocoran data akan semakin marak
Kepercayaan publik terhadap institusi negara menurun
Ini bukan cuma soal teknologi atau hukum. Ini adalah soal moral dan martabat bangsa.
📢 Seruan untuk Kita Semua
Privasi digital adalah hak dasar yang tidak bisa dinegosiasikan. Bahkan di era ekonomi digital, data pribadi tetap milik individu, bukan milik negara atau perusahaan. Negara boleh punya akses untuk pelayanan publik, tapi tidak untuk diperdagangkan atau ditukar sebagai konsesi geopolitik.
Apa yang bisa kita lakukan sebagai warga?
1. Sadarilah nilai data pribadi kita. Jangan mudah membagikan NIK, foto KTP, atau data biometrik.
2. Desak transparansi dari pemerintah—rakyat berhak tahu bagaimana datanya dipakai.
3. Kawal penerapan UU PDP agar tidak jadi aturan mati tanpa pengaruh nyata.
4. Dukung gerakan advokasi digital yang memperjuangkan perlindungan hak digital di Indonesia.
✍️ Penutup: Negara Seharusnya Melindungi, Bukan Menjual
Mari kita renungkan. Negara memiliki tanggung jawab moral, bukan hanya hukum, untuk melindungi warganya, termasuk di dunia digital. Jika negara sendiri menjadikan data rakyatnya sebagai alat tukar politik atau ekonomi, maka itu berarti negara telah mengkhianati kepercayaan warganya sendiri.
Jangan jual data kami. Kami bukan komoditas.
Kami adalah warga negara yang punya hak atas privasi dan martabat digital.

Tidak ada komentar: