Dalam kehidupan sosial dan politik, istilah “musuh bersama” sering kali digunakan untuk menjelaskan bagaimana sekelompok orang bisa bersatu menghadapi pihak tertentu yang dianggap sebagai lawan. Menariknya, musuh bersama tidak selalu hadir karena alasan yang objektif. Ada kalanya ia lahir dari ancaman nyata, namun ada pula yang diciptakan secara sengaja demi kepentingan tertentu. Fenomena ini sangat erat kaitannya dengan kemarahan kolektif yang berkembang menjadi kebencian kolektif.
Musuh Bersama dari Ancaman Nyata
Musuh bersama bisa terbentuk secara alami ketika ada ancaman yang jelas dan dirasakan langsung. Misalnya, rakyat yang mengalami penindasan akan secara alami memandang penguasa yang zalim sebagai musuh bersama. Dalam kasus lain, bencana, penjajahan, atau tindakan kriminal besar dapat memunculkan reaksi kemarahan massal yang bertransformasi menjadi kebencian terhadap pihak yang dianggap sebagai penyebab penderitaan.
Pada situasi ini, musuh bersama lahir sebagai bentuk respon alami terhadap rasa sakit, ketidakadilan, dan ancaman nyata. Emosi kolektif yang muncul dapat mendorong solidaritas sosial, meskipun sering kali juga berisiko memunculkan kekerasan.
Musuh Bersama yang Direkayasa
Namun, tidak jarang musuh bersama muncul bukan dari ancaman nyata, melainkan hasil rekayasa politik, sosial, atau ekonomi. Pihak tertentu, seperti pemimpin, kelompok kepentingan, atau bahkan negara, bisa menciptakan narasi tentang musuh bersama untuk mengendalikan opini publik.
Ada beberapa strategi umum yang digunakan:
• Propaganda: pesan diulang-ulang agar masyarakat percaya pihak tertentu adalah ancaman.
• Scapegoating: mencari kambing hitam untuk menyalahkan satu kelompok atas masalah yang kompleks.
• Dehumanisasi: menggambarkan pihak lawan sebagai “bukan manusia seutuhnya,” sehingga lebih mudah dibenci.
• Polarisasi identitas: membagi dunia menjadi dua, yaitu “kita” yang baik dan “mereka” yang jahat.
Dengan cara ini, musuh bersama bisa diciptakan secara artifisial meski tidak ada bukti nyata bahwa pihak tersebut benar-benar berbahaya.
Faktor-faktor yang Membentuk Musuh Bersama
Beberapa kondisi membuat masyarakat lebih mudah menerima adanya musuh bersama:
1. Ancaman nyata atau dibesar-besarkan → rasa takut mendorong orang mencari penyebab sederhana.
2. Narasi kolektif → cerita, simbol, dan media memperkuat pesan bahwa ada musuh yang harus dilawan.
3. Kebutuhan solidaritas internal → musuh bersama sering digunakan untuk menyatukan kelompok yang terpecah.
4. Identitas sosial → manusia cenderung membedakan antara “kita” dan “mereka.”
5. Krisis atau ketidakpastian → saat bingung atau tertekan, masyarakat lebih mudah diarahkan pada satu pihak sebagai biang masalah.
Musuh Bersama, Kemarahan, dan Kebencian
Fenomena musuh bersama berhubungan erat dengan dinamika emosi manusia. Kemarahan kolektif biasanya muncul terlebih dahulu sebagai reaksi spontan. Jika emosi itu terus dipelihara, diperkuat dengan narasi, dan diarahkan ke satu pihak, maka terbentuklah kebencian kolektif.
Kebencian semacam ini bisa bertahan sangat lama, bahkan lintas generasi. Tidak jarang, kebencian diwariskan dalam bentuk cerita, budaya, atau kebijakan. Dampaknya bisa sangat destruktif: perpecahan sosial, konflik berkepanjangan, hingga kekerasan yang sulit dihentikan.
Penutup
Musuh bersama adalah fenomena kompleks yang bisa lahir secara alami maupun rekayasa. Ia bisa memperkuat solidaritas sosial, tetapi juga berisiko memunculkan kebencian kolektif yang sulit dipadamkan. Kesadaran kritis sangat penting agar kita bisa membedakan antara ancaman nyata dan narasi rekayasa. Dengan begitu, kita tidak mudah terjebak dalam pusaran kebencian yang sesungguhnya bukan milik kita.

Tidak ada komentar: