Idul Adha selalu identik dengan peny3mbelihan hewan kurban. Namun, tahun 2025 menjadi momen yang tak biasa di Maroko. Negara Muslim ini, yang mayoritas penduduknya hampir 100% beragama Islam, melarang warganya meny3mbelih hewan kurban karena kondisi kekeringan ekstrem dan krisis ekonomi. Sebuah keputusan yang bagi sebagian orang terasa mengejutkan, namun jika direnungkan lebih dalam, mencerminkan keberagamaan yang sangat rasional dan humanis.
Krisis Iklim dan Etika Keagamaan
Maroko telah dilanda kekeringan selama bertahun-tahun. Populasi ternak menyusut, harga domba melonjak jauh di luar jangkauan rakyat miskin, dan sumber daya air menipis. Dalam konteks ini, keputusan Raja Mohammed VI untuk tidak mengizinkan kurban massal bukanlah bentuk pengabaian terhadap agama, melainkan penghormatan pada nilai-nilai mendalam agama itu sendiri—yakni rahmah (kasih sayang), maslahah (kebaikan bersama), dan hikmah (kebijaksanaan).
Kita diingatkan bahwa syariat bukan sekadar ritual, tetapi sarana mencapai tujuan etis dan sosial.
Kurban Tanpa Penyembelihan: Transformasi Makna Ibadah
Sebagai Amir al-Mu’minin (pemimpin umat), sang raja melakukan satu penyembelihan simbolik atas nama seluruh rakyatnya. Ini bukan hanya bentuk simbolisme negara, tapi juga penegasan bahwa makna kurban tidak berhenti pada darah dan daging, melainkan pada kesediaan mengorbankan ego, kenyamanan, bahkan tradisi, demi kemaslahatan umum.
Dalam konteks inilah muncul pertanyaan penting:
Apakah kurban harus selalu berwujud daging, atau bisa diwujudkan dalam bentuk lain—seperti solidaritas sosial, penghematan air, dan perlindungan lingkungan?
Islam dan Adaptasi terhadap Zaman dan Situasi
Langkah Maroko patut direnungkan oleh umat Islam di seluruh dunia. Di tengah krisis iklim global dan meningkatnya kesenjangan sosial, agama seharusnya menjadi kekuatan transformatif yang menjawab zaman, bukan hanya mengulang masa lalu. Larangan kurban ini justru membuka ruang perenungan spiritual: bagaimana cara berkurban secara lebih bermakna?
Islam yang kontekstual dan reflektif seperti ini memberi harapan—bahwa agama bukan penghambat perubahan, melainkan penggerak kebijakan bijaksana.
Penutup: Sebuah Pelajaran dari Maroko
Larangan kurban Idul Adha di Maroko 2025 bukanlah pengurangan nilai religius, melainkan perluasan makna spiritual. Ini menunjukkan bahwa keberagamaan tidak harus kaku dan literal, melainkan bisa adaptif, penuh empati, dan tetap berpijak pada nilai-nilai luhur Islam.
Keputusan ini layak diapresiasi sebagai bentuk kepemimpinan moral dan keagamaan yang brilian, dan sekaligus menjadi pengingat bagi kita semua: dalam setiap ibadah, esensinya bukan pada bentuk luar, melainkan pada jiwa dan tujuan yang dikandungnya.

Tidak ada komentar: