Ada masa di hidup saya di mana kesalahan dianggap sebagai dosa besar yang tidak termaafkan. Saya dibesarkan dalam keluarga dengan pendekatan legalistik yang kuat—segala sesuatu harus benar, rapi, tepat, dan sempurna. Tidak ada ruang untuk gagal, tidak ada celah untuk salah. Bila melanggar aturan, maka ada harga yang harus dibayar. Konsekuensi, bukan pengertian.
Awalnya saya tidak mempertanyakan itu. Saya tumbuh dan menginternalisasi cara pandang tersebut dalam banyak aspek kehidupan. Bahkan ketika saya mulai bergabung dalam komunitas, pola pikir itu terbawa. Saya menjadi orang yang cepat menilai dan sulit memberi toleransi. Jika ada seseorang melakukan kesalahan, bagi saya ia layak mendapat hukuman. Tidak ada diskusi, tidak ada maaf, tidak ada kesempatan kedua.
Namun waktu berjalan, hidup mempertemukan saya dengan realitas yang tidak sesederhana itu.
Saya mulai menyaksikan bahwa manusia bisa jatuh, tergelincir, tersandung—tidak selalu karena niat buruk, tapi karena ketidaktahuan, tekanan, luka, bahkan karena mereka sedang berada di titik lemah hidup mereka. Saya pun mengalami hal serupa. Saya tidak selalu kuat, tidak selalu benar, dan tidak selalu bisa memenuhi standar tinggi yang saya pegang selama ini. Saya pun pernah salah. Bahkan, saya tahu ada titik-titik dalam hidup saya yang rapuh, dan bisa sewaktu-waktu pecah.
Kesadaran itu mengubah saya. Perlahan.
Saya mulai bertanya: Mengapa saya begitu keras pada kesalahan orang lain, tapi diam-diam bisa memaafkan kesalahan saya sendiri? Mengapa saya merasa pantas mendapat pemakluman, tetapi tidak bersedia memberi hal yang sama untuk orang lain? Di titik itu saya menyadari bahwa keadilan sejati bukan hanya tentang menegakkan aturan, tapi tentang memahami konteks. Dan bahwa kasih bukan berarti membiarkan orang terus berbuat salah, tapi memberi ruang untuk bangkit setelah jatuh.
Memberi kesempatan kedua bukan kelemahan. Justru di situlah letak kekuatan manusia: kemampuan untuk percaya bahwa perubahan itu mungkin. Bahwa seseorang tidak ditentukan oleh satu titik gelap dalam hidupnya. Kita semua terdiri dari banyak babak. Jangan menutup buku seseorang hanya karena satu halaman buruk.
Saya belajar bahwa bersikap legalistik tanpa kasih hanyalah bentuk lain dari kesombongan. Kita menganggap diri sebagai pemegang kebenaran, seolah tidak pernah keliru. Padahal bisa jadi kita hanya belum diuji di titik yang sama. Saat kita menghakimi orang yang jatuh dalam kesalahan tertentu, kita lupa bahwa kita pun mungkin tengah jatuh dalam bentuk kesalahan yang lain—yang tidak tampak, tapi tetap melukai.
Kita keras pada orang yang selingkuh, tapi memaafkan diri karena menyimpan dendam. Kita mencibir mereka yang berbohong, tapi tetap tenang menyimpan kepalsuan dalam relasi. Kita mencela mereka yang kalah dalam godaan, tapi menutup mata pada keserakahan yang kita pupuk setiap hari.
Pengalaman ini tidak membuat saya menjadi permisif. Saya tetap percaya bahwa kebenaran itu penting, nilai harus dijaga, dan kesalahan punya konsekuensi. Tapi saya juga percaya bahwa manusia punya potensi untuk pulih. Dan kadang, yang dibutuhkan hanyalah satu orang yang percaya bahwa dirinya pantas diberi kesempatan kedua.
Saya tidak ingin menjadi hakim yang cepat menghukum. Saya ingin menjadi manusia yang mengingatkan, membimbing, dan jika perlu—menunggu.
Menunggu orang lain belajar dari lukanya. Menunggu orang lain menguatkan dirinya. Menunggu orang lain berani mengaku salah, lalu perlahan bangkit.
Saya percaya dunia tidak butuh lebih banyak orang sempurna. Dunia butuh lebih banyak orang yang pernah gagal, lalu mengulurkan tangan kepada mereka yang kini sedang tersungkur.
Karena sejatinya, kita semua sedang dalam perjalanan. Tidak ada yang tiba. Tidak ada yang selesai. Dan selama kita masih berjalan, selama itu pula kita butuh ruang untuk keliru—dan harapan untuk diperbaiki.

Tidak ada komentar: