Kesetiaan yang Tak Dibayar Sepantasnya
Beberapa kali saya melihat di media sosial, seorang guru honorer yang sudah 33 tahun mengajar, hanya menerima gaji Rp350.000 setiap tiga bulan. Di tengah kenyataan pahit itu, ia tetap datang ke sekolah, tetap tersenyum di depan kelas, dan tetap setia mendidik anak-anak negeri ini.
Berita semacam ini bukan sekali dua kali muncul. Kita sering mendengar tentang guru honorer yang digaji tidak layak. Tapi tetap saja, mereka bertahan. Tetap mencintai pekerjaan yang bagi banyak orang mungkin sudah ditinggalkan sejak lama jika diukur dari sisi keuntungan ekonomi.
Tentu saja muncul pertanyaan dalam benak: apa yang membuat mereka bertahan?
Barangkali jawabannya adalah: karena bagi mereka, ada yang lebih berharga daripada uang. Pengabdian. Cinta pada ilmu. Doa anak-anak. Rasa cukup secara spiritual. Semua itu nyata bagi mereka yang menjadikan profesi sebagai bagian dari hidup dan jiwa.
Namun pertanyaan berikutnya lebih menohok:
Kalau kita tahu itu tidak adil, mengapa kita diam?
Mengapa Diam Begitu Lama?
Refleksi ini bukan hanya untuk mereka yang ada di tampuk kekuasaan, tetapi juga untuk kita yang membaca, menonton, dan tahu. Kita yang satu profesi. Kita yang satu bangsa. Kita yang sama-sama tahu bahwa ketimpangan ini tidak manusiawi. Tapi mengapa seolah semuanya bisa terus berjalan seperti biasa?
Mengapa masih ada guru yang harus memilih antara beli buku atau beli beras?
Mengapa kesetiaan mereka hanya dibalas ucapan, bukan tindakan?
Apakah karena kita terlalu terbiasa dengan ketidakadilan sehingga ia tidak lagi menyentak nurani?
Mereka Bertahan, Tapi Sampai Kapan?
Kita tak bisa terus menggantungkan perubahan hanya pada ketulusan hati para guru. Mereka manusia, dengan kebutuhan, harga diri, dan impian seperti kita. Memuji pengabdian mereka tidak cukup jika tidak disertai aksi nyata.
Memperjuangkan nasib guru honorer bukan sekadar menaikkan angka gaji, tapi menghargai martabat mereka sebagai pendidik generasi bangsa.
Penutup: Kapan Kita Akan Bergerak?
Jika guru honorer bisa bertahan karena rasa cinta, maka kita yang tahu ketidakadilan ini semestinya bisa bergerak karena rasa keadilan. Negara tidak boleh menutup mata. Masyarakat tidak boleh menutup telinga. Profesi yang semulia ini tak seharusnya dibiarkan berjuang sendirian.
Diam kita adalah bentuk persetujuan.
Dan itu adalah pelajaran paling pahit yang bisa diberikan kepada anak-anak kita: bahwa pengabdian tidak dihargai di negeri sendiri.

Tidak ada komentar: