Data Pertumbuhan Ekonomi yang Dipertanyakan
Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh langkah Center of Economic and Law Studies (CELIOS) yang menyurati Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Isinya cukup serius: meminta audit terhadap Badan Pusat Statistik (BPS) terkait klaim pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,12 persen pada kuartal II 2025.
Sekilas, angka ini mungkin tidak mengejutkan. Pertumbuhan di kisaran 5 persen sudah menjadi “angka wajar” yang sering kita dengar dari pemerintah. Namun, keberanian CELIOS melangkah ke PBB seakan mewakili kegelisahan banyak orang: apakah data yang kita terima benar-benar bisa dipercaya?
Data Bukan Sekadar Angka
Bagi orang awam, selisih 0,1 atau 0,2 persen dalam pertumbuhan ekonomi mungkin terasa remeh. Tetapi dalam dunia kebijakan, angka sekecil itu bisa menentukan miliaran bahkan triliunan rupiah dalam perhitungan APBN.
Bayangkan jika angka pertumbuhan lebih tinggi dari kenyataan: pemerintah bisa menunda intervensi ekonomi, mengurangi anggaran bantuan, atau menunda subsidi. Sebaliknya, jika pertumbuhan lebih rendah dari kenyataan, bisa muncul kebijakan panik seperti menaikkan utang atau menambah stimulus.
Dengan kata lain, data ekonomi adalah kompas. Jika kompas melenceng, maka kapal bernama Indonesia pun bisa salah arah.
Kepercayaan yang Dipertaruhkan
Keakuratan data statistik adalah modal tak kasat mata bagi sebuah negara. Investor asing, lembaga keuangan internasional, dan masyarakat luas semua bergantung pada integritas data tersebut.
Jika data BPS diragukan, maka kepercayaan publik akan menurun. Bagi investor, keraguan itu bisa berarti risiko tambahan. Bagi masyarakat, keraguan itu menumbuhkan rasa sinis bahwa angka hanyalah alat legitimasi politik.
Di sinilah pentingnya transparansi metodologi. Masyarakat berhak tahu bagaimana data dihimpun, dihitung, dan dipublikasikan. Tanpa keterbukaan, data akan kehilangan maknanya sebagai rujukan objektif, dan berubah menjadi sekadar retorika.
Audit Sebagai Jalan Keluar
Tuntutan CELIOS agar PBB turun tangan mungkin terasa berlebihan. Namun, esensinya adalah mencari keadilan dan transparansi. Audit independen, baik dari lembaga internasional maupun kolaborasi akademik, dapat menjadi solusi untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Audit bukan berarti merendahkan lembaga nasional. Justru sebaliknya, ia bisa menjadi mekanisme kontrol sehat yang memperkuat kredibilitas BPS. Banyak negara maju secara rutin membuka data mereka untuk diawasi pihak eksternal, karena sadar bahwa kepercayaan publik jauh lebih berharga daripada sekadar angka cantik di laporan ekonomi.
Suara Rakyat yang Perlu Didengar
Sebagai rakyat biasa, saya merasa berhak menyuarakan kegelisahan ini. Kami mungkin tidak memahami detail metodologi statistik, tetapi kami merasakan dampak langsung dari kebijakan yang lahir dari data.
Ketika harga pangan melonjak, ketika subsidi dipangkas, ketika lapangan kerja terasa sempit, kami bertanya-tanya: benarkah ekonomi tumbuh seperti yang digambarkan? Ataukah angka itu hanya meninabobokan telinga kita semua?
Kritik terhadap data bukanlah bentuk permusuhan terhadap pemerintah atau BPS. Kritik justru tanda sayang, tanda bahwa rakyat masih peduli pada kredibilitas institusi negara. Yang lebih berbahaya justru ketika rakyat tidak lagi peduli dan merasa angka apa pun hanyalah sandiwara.
Penutup: Transparansi Adalah Kunci
Keakuratan data bukan soal benar-salah dalam angka, melainkan soal kepercayaan dan arah kebijakan. Jika data diragukan, maka kebijakan pun kehilangan pijakan. Karena itu, audit, keterbukaan, dan dialog publik menjadi penting agar lembaga statistik kita tidak kehilangan marwahnya.
Saya percaya, BPS memiliki kapasitas untuk memperbaiki diri dan membuktikan kredibilitasnya. Namun, sebagai rakyat, saya juga punya hak untuk menuntut transparansi. Sebab pada akhirnya, angka pertumbuhan bukan sekadar angka di kertas laporan, ia adalah penentu nasib kami semua.

Tidak ada komentar: