Belakangan ini, Indonesia kembali diramaikan oleh isu amnesti yang dikeluarkan oleh Presiden Prabowo. Seperti biasa, publik terbelah: sebagian melihatnya sebagai langkah berani untuk rekonsiliasi nasional, sebagian lain mencemaskan kemungkinan amnesti itu menjadi pintu bagi impunitas atas pelanggaran serius. Namun tahukah kita, bahwa konsep amnesti ini sesungguhnya memiliki akar sejarah yang panjang, bahkan sejak Yunani Kuno?
Asal-usul Kata "Amnesti"
Secara etimologis, kata amnesti berasal dari bahasa Yunani: ἀμνηστία (amnēstía) yang berarti "melupakan". Kata ini dibentuk dari a- (penyangkalan) dan mnēmē (ingatan), sehingga bermakna "tidak mengingat lagi". Tapi jangan salah, makna filosofisnya bukan berarti menghapus sejarah, melainkan menahan diri untuk tidak membalas dendam demi masa depan bersama.
Athena 403 SM: Contoh Awal dan Penuh Nilai
Salah satu catatan amnesti paling terkenal terjadi di Athena pada 403 SM, pasca-tumbangnya rezim otoriter Tiga Puluh Tiran yang naik setelah Athena kalah dalam Perang Peloponnesia. Rezim tersebut dikenal kejam, penuh penindasan, pengkhianatan, dan kekerasan terhadap warga sipil.
Namun ketika kekuasaan direbut kembali oleh kaum demokrat, mereka tidak membalas kekejaman dengan kekejaman. Sebaliknya, mereka menerapkan amnesti politik untuk sebagian besar pelaku, demi membangun kembali kota yang terkoyak konflik. Mereka mendasarkan keputusan itu pada prinsip:
“Let us not remember past wrongs.”
Mari kita tidak mengingat kesalahan masa lalu.
Ini bukan semata keputusan hukum, melainkan sebuah langkah etis dan filosofis yang menunjukkan kematangan dalam bernegara.
Amnesti di Era Modern: Pengampunan atau Pelarian?
Seiring perkembangan zaman, amnesti menjadi alat penting dalam masa transisi:
Di Amerika Serikat pasca-perang saudara, amnesti membantu menyatukan kembali negara.
Di Afrika Selatan, amnesti menjadi bagian dari proses Truth and Reconciliation usai apartheid.
Di Amerika Latin, amnesti sempat jadi masalah ketika digunakan untuk menutupi pelanggaran HAM oleh junta militer.
Artinya, amnesti bisa menjadi alat penyembuhan, tapi juga senjata untuk melindungi penjahat, tergantung siapa yang diampuni dan bagaimana prosesnya.
Konteks Indonesia: Belajar dari Sejarah
Indonesia bukan asing dengan kebijakan amnesti. Di era Presiden Jokowi, kasus amnesti untuk Baiq Nuril menjadi sorotan publik, sebagai bentuk koreksi terhadap ketidakadilan hukum. Namun di sisi lain, perbincangan amnesti untuk pelaku makar, separatis, atau pelanggar HAM berat menimbulkan dilema: apakah negara sedang memulihkan luka, atau sedang mencuci tangan?
Kini, saat Presiden Prabowo mengambil langkah serupa, kita patut bertanya:
Apakah amnesti itu diberikan dengan niat luhur demi rekonsiliasi politik dan sosial?
Ataukah sekadar bagian dari manuver kekuasaan untuk membungkam kritik dan memperluas dukungan?
Pertanyaan ini penting karena seperti di Athena kuno, amnesti hanya berarti mulia bila disertai dengan kejujuran sejarah dan kesediaan untuk bertobat.
Lupa Tanpa Menutupi: Hikmah dari Yunani
Yang menarik dari Yunani Kuno adalah, meski mereka memilih "tidak mengingat kesalahan", mereka tidak pernah menghapus sejarah. Mereka tetap mengajarkan kisah kekuasaan Tiga Puluh Tiran agar menjadi pelajaran. Amnesti bukan berarti pelaku dibebaskan dari tanggung jawab moral—melainkan rakyat memilih tidak mengulang lingkaran dendam, karena sadar bahwa balas dendam tidak membangun keadilan, hanya memperpanjang luka.
Penutup: Amnesti sebagai Cermin Etika Bangsa
Amnesti sejatinya adalah cermin: apakah sebuah bangsa telah cukup matang untuk mengampuni tanpa melupakan? Apakah kita benar-benar ingin menyembuhkan luka, atau hanya menutupinya?
Belajar dari Yunani Kuno, kita tahu bahwa amnesti bisa menjadi lompatan besar menuju rekonsiliasi, asalkan tidak mengorbankan kebenaran dan keadilan. Maka dalam situasi Indonesia saat ini, pertanyaan yang paling penting bukan sekadar siapa yang diampuni, tapi demi siapa dan atas dasar apa pengampunan itu diberikan.

Tidak ada komentar: