Saya pernah berada dalam fase kehidupan di mana saya ingin bersungguh-sungguh menjalani keimanan saya. Saya merasa ini adalah bentuk cinta saya kepada Tuhan. Saya mulai lebih rajin beribadah, lebih tekun membaca kitab suci, dan lebih hati-hati dalam pergaulan dan tutur kata. Namun di tengah semangat itu, ada satu hal yang baru saya sadari belakangan: semakin saya merasa yakin akan kebenaran yang saya pegang, semakin saya menjauh dari orang-orang yang berbeda keyakinan.
Awalnya saya tidak merasa itu masalah. Saya hanya merasa tidak peduli. Ibadah orang lain terasa aneh, tetapi saya tidak terlalu ambil pusing. Saya hanya menjalani keimanan saya dengan cara saya sendiri, dan merasa bahwa itu sudah cukup.
Namun ketika saya mulai membaca perbandingan antara konsep dalam keyakinan saya dengan konsep dalam keyakinan lain, saya mulai merasa tidak nyaman. Saya mulai merasakan ketidaksukaan. Anehnya, saya tidak benar-benar memahami keyakinan orang lain itu, saya hanya membaca sekilas atau mendengar dari cerita orang. Tapi dari situ, rasa tidak suka itu tumbuh. Tanpa saya sadari, saya mulai membentuk batas: aku dan dia, kita dan mereka.
Rasa tidak suka itu menjadi lebih kuat ketika saya menyaksikan konflik terbuka yang melibatkan agama. Saat itu, perasaan terancam muncul begitu saja. Saya merasa seolah-olah keyakinan saya sedang dilawan, meskipun saya tidak terlibat langsung. Dan dari sana, saya mulai sadar bahwa saya sudah membangun sekat dalam hati saya. Saya tidak lagi memberi ruang toleransi kepada mereka yang berbeda.
Sekat itu tidak dibangun dengan benci, tapi dengan ketidaktahuan dan kekhawatiran. Saya tidak tahu banyak tentang agama lain, tapi saya sudah menilai. Saya tidak mengenal mereka, tapi saya sudah merasa berbeda. Dan inilah yang membuat saya merenung: apakah iman saya membimbing saya menuju kasih sayang atau justru menjauhkan saya dari sesama manusia?
Saya kemudian membaca beberapa teori psikologi sosial, dan menemukan bahwa proses seperti ini sangat umum terjadi. Ketika seseorang semakin mendalami identitas keagamaannya, bisa muncul perasaan “kami benar” dan secara tidak sadar membentuk sikap “mereka salah”. Apalagi jika dibarengi dengan konflik atau narasi yang menggambarkan pihak lain sebagai ancaman.
Namun saya juga belajar bahwa iman yang matang tidak seharusnya membuat kita takut pada perbedaan. Justru sebaliknya, iman yang kuat seharusnya memberi ruang untuk merangkul sesama manusia dengan kasih sayang, tanpa merasa terancam oleh keberagaman cara mereka beribadah atau memahami Tuhan.
Saya tidak ingin iman saya menjadi pagar yang membatasi. Saya ingin menjadikannya jembatan—yang membuat saya bisa menghargai orang lain walaupun kami berjalan di jalan yang berbeda. Saya ingin mengenali manusia lebih dulu sebelum menghakimi keyakinannya. Karena pada akhirnya, kita semua sedang berjalan mencari cahaya—meskipun dari arah yang berbeda-beda.
Dan saya percaya, Tuhan yang saya imani pun tidak pernah takut pada keberagaman.

Tidak ada komentar: