Simbol Dewi Keadilan: Lebih dari Sekadar Patung
Di banyak gedung pengadilan di dunia, kita sering melihat sosok perempuan yang berdiri anggun memegang timbangan dan pedang, dengan mata tertutup. Ia adalah Dewi Keadilan, dikenal dalam mitologi Romawi sebagai Justitia dan sebelumnya dalam mitologi Yunani sebagai Themis atau Dike. Namun, lebih dari sekadar simbol klasik, figur ini membawa pesan moral dan etika yang amat mendalam.
Simbol ini bukan hiasan estetika semata. Ia adalah perwujudan harapan umat manusia akan keadilan yang sejati—sebuah keadilan yang tidak memihak, berpijak pada kebenaran, dan ditegakkan secara tegas tanpa takut atau pilih kasih.
Mata Tertutup: Keadilan yang Tak Memandang Siapa
Simbol mata tertutup menjadi bagian paling mencolok dari figur Dewi Keadilan. Dalam pemahaman mendalam, mata yang ditutup ini melambangkan ketidakberpihakan dan keobjektifan. Artinya, keadilan seharusnya:
Tidak terpengaruh oleh status sosial, kekuasaan, kekayaan, agama, atau jenis kelamin.
Tidak tergoda oleh kepentingan pribadi atau tekanan kelompok mayoritas.
Menilai semata-mata berdasarkan bukti dan kebenaran, bukan latar belakang pelaku atau korban.
Ideal ini sangat mulia. Ia mengandung harapan bahwa dalam sistem hukum, semua orang setara di hadapan hukum (equality before the law). Namun, kenyataannya sering kali jauh panggang dari api.
Timbangan dan Pedang: Simbol Penyeimbang dan Kekuatan Tegas
Selain mata tertutup, Dewi Keadilan juga memegang timbangan dan pedang.
Timbangan menggambarkan proses menilai secara adil: menimbang bukti dari dua sisi, membandingkan fakta dan argumen dengan setara.
Pedang menggambarkan otoritas hukum, yang bisa menindak tegas tanpa pandang bulu. Tajam dan bermata dua, pedang ini melambangkan bahwa hukum bisa menyentuh siapa pun, tanpa kecuali.
Ketiga unsur ini—mata tertutup, timbangan, dan pedang—adalah satu kesatuan utuh dari harapan akan tatanan hukum yang adil, setara, dan efektif.
Ketika Prinsip Hanya Jadi Simbol: Kesenjangan yang Nyata
Sayangnya, jarak antara simbol dan praktik masih menjadi luka lama di banyak negara, termasuk Indonesia. Hukum sering kali tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Seseorang yang mencuri karena kelaparan bisa dipenjara, sementara pelaku korupsi dengan kerugian miliaran rupiah bisa dihukum ringan—bahkan kadang bebas karena celah hukum.
Keadilan yang semestinya tidak memihak, justru terdistorsi oleh kekuatan politik, uang, atau kepentingan elite. Dalam banyak kasus, masyarakat kecil merasa kehilangan harapan karena prinsip keadilan yang seharusnya melindungi, justru menjadi alat penindasan atau permainan kekuasaan.
Inilah yang membuat simbol Dewi Keadilan penting untuk dikenalkan kembali kepada masyarakat. Bukan hanya kepada para penegak hukum, tapi kepada setiap warga negara. Karena ketika prinsip ini hanya tinggal simbol, maka hukum kehilangan makna moralnya.
Menghidupkan Kembali Semangat Dewi Keadilan
Apa yang bisa kita lakukan? Meski kita bukan hakim atau pembuat undang-undang, kesadaran publik adalah fondasi perubahan. Masyarakat yang memahami nilai luhur keadilan akan lebih kritis terhadap ketidakadilan, berani bersuara, dan tidak mudah tunduk pada kesewenang-wenangan.
Prinsip Dewi Keadilan mengajarkan kita bahwa:
Keadilan harus bersifat universal, tidak tergantung pada siapa pelakunya.
Kebenaran tidak bisa ditawar, meskipun itu menyakitkan.
Keadilan membutuhkan keberanian, bukan hanya dari hakim atau jaksa, tapi dari masyarakat yang berani membela yang lemah dan menolak manipulasi.
Maka mengenalkan kembali sosok Dewi Keadilan bukan sekadar pelajaran sejarah atau mitologi, melainkan ajakan moral untuk memperjuangkan prinsip yang adil dalam kehidupan sehari-hari—di rumah, di kantor, di sekolah, maupun di ruang publik.
Penutup: Dari Simbol Menjadi Aksi
Dewi Keadilan bukan hanya patung diam. Ia adalah lambang hidup dari harapan manusia akan dunia yang lebih adil. Namun harapan itu hanya akan menjadi kenyataan jika nilai-nilainya tidak hanya dipajang di dinding pengadilan, tetapi dihidupi dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagaimana keadilan seharusnya buta terhadap bias, kita pun perlu membuka mata hati kita untuk melihat bahwa keadilan bukanlah milik segelintir orang, melainkan hak setiap manusia. Dan memperjuangkan keadilan adalah tugas kita bersama.

Tidak ada komentar: