Di tengah masyarakat yang menjunjung tinggi identitas religius, kita sering merasa istilah ateis begitu menakutkan, seolah menyebutnya saja sudah berdosa. Kita menolak mentah-mentah kemungkinan bahwa seseorang bisa tidak percaya kepada Tuhan. Tapi barangkali, yang lebih perlu kita waspadai bukanlah ateisme intelektual, melainkan sesuatu yang jauh lebih halus dan tersembunyi: praktis ateis.
Apa itu praktis ateis? Ini bukan tentang orang yang menolak Tuhan secara terbuka. Justru sebaliknya, mereka bisa saja rajin beribadah, taat menjalankan ritual, dan dengan bangga menyebut diri beragama. Namun dalam kehidupan sehari-hari, mereka tidak peduli dengan nilai-nilai Tuhan yang mereka imani. Mereka hidup seolah-olah Tuhan tidak ada, padahal mulutnya mengatakan percaya.
Mungkin kita pernah melihat:
Seorang pejabat yang sering tampil religius, tapi tetap menyengsarakan rakyat melalui kebijakan koruptif.
Seorang tokoh agama yang menyerukan kebaikan, tapi bersikap kejam kepada keluarga atau anak didiknya.
Seorang warga yang aktif dalam kegiatan keagamaan, namun tega memfitnah tetangga karena iri hati.
Fenomena ini bukan hal baru. Dalam banyak tradisi keagamaan, perilaku seperti ini disebut kemunafikan spiritual, ketidaksesuaian antara ucapan iman dan tindakan nyata. Bahkan dalam tradisi Kristen, Yesus mengecam orang-orang Farisi yang secara lahiriah tampak saleh, namun hatinya penuh dengan kesombongan dan ketidakadilan. Dalam Islam, perilaku semacam ini juga disebut nifaq, di mana seseorang tampak beriman, namun tindakannya justru mengingkari Tuhan.
Mengapa ini bisa terjadi?
Barangkali karena agama dijalankan hanya sebagai simbol sosial. Di lingkungan tertentu, menjadi religius adalah norma, bukan pilihan hati. Maka, ibadah dijalankan sebagai rutinitas tanpa kedalaman makna. Tuhan dijadikan nama yang dijunjung, tapi ajaran-Nya tak dijadikan panduan dalam memperlakukan sesama.
Orang bisa sangat tekun menjalankan shalat atau misa, tapi tetap berbohong, menyuap, atau menyakiti orang lain. Iman menjadi formalitas, bukan jalan hidup.
Inilah praktis ateisme: bukan menyangkal Tuhan dengan akal, tapi mengabaikan Tuhan dalam perilaku. Dan ironisnya, orang seperti ini bisa lebih berbahaya daripada ateis jujur, karena ia menyembunyikan kerusakan moral di balik simbol-simbol religiusitas.
Tentu, kita tidak sedang menunjuk orang lain. Lebih bijak jika pertanyaan ini kita arahkan ke dalam:
Apakah hidupku benar-benar mencerminkan nilai-nilai keimanan yang aku yakini?
Apakah aku hanya percaya Tuhan secara lisan, tapi dalam praktik hidupku aku mengabaikan-Nya?
Kita semua rentan menjadi praktis ateis, tanpa disadari. Oleh karena itu, agama tidak seharusnya berhenti pada ritual, tapi harus menyentuh hati dan membentuk perilaku. Percaya kepada Tuhan seharusnya membuat kita lebih jujur, adil, peduli, dan rendah hati.
Karena jika tidak, maka jangan-jangan kitalah yang sesungguhnya sedang hidup seolah-olah Tuhan tidak ada.
Penutup:
Marilah kita jujur pada diri sendiri. Iman bukan sekadar status identitas, tapi jalan hidup yang harus diwujudkan dalam tindakan. Jangan sampai kita sibuk membela Tuhan di ruang publik, tapi diam-diam mengkhianati nilai-nilai-Nya dalam keseharian. Sebab bisa jadi, tanpa sadar, kitalah ateis yang sesungguhnya, bukan karena tak percaya, tapi karena tak peduli.

Tidak ada komentar: