Snob: Dari Orang Biasa ke Simbol Status
Kata snob pada awalnya hanyalah istilah sederhana di Inggris abad ke-18 untuk menyebut orang biasa, khususnya kelas pekerja. Bahkan, di kalangan mahasiswa Cambridge, istilah ini digunakan untuk membedakan antara kaum bangsawan dan mereka yang bukan keturunan aristokrat.
Namun, sejak abad ke-19, terutama melalui karya William Makepeace Thackeray dalam The Book of Snobs (1848), arti kata ini berubah drastis. Snob kemudian merujuk pada orang yang berusaha terlihat lebih tinggi dari kelas sosialnya dengan meniru gaya hidup kaum elite. Inilah cikal bakal konsep snobisme yang masih relevan hingga kini.
Snobisme dan Obsesi Status
Snobisme lahir dari dorongan manusia untuk diakui lebih dari dirinya yang sebenarnya. Bagi kelas pekerja di Inggris masa lalu, cara paling mudah adalah dengan meniru gaya bicara, busana, dan perilaku leisure class.
Fenomena ini juga diperkuat oleh teori Thorstein Veblen tentang conspicuous consumption—konsumsi mencolok yang dilakukan bukan karena kebutuhan, tetapi untuk pamer status. Dengan kata lain, snobisme bukan sekadar soal selera, melainkan soal penegasan identitas sosial melalui simbol-simbol status.
Fenomena Snobisme di Masyarakat Modern
Meskipun istilah snob jarang dipakai di Indonesia, perilakunya nyata kita jumpai. Banyak orang ingin terlihat berbeda dengan menampilkan status sosial, meski tidak selalu sesuai dengan kemampuan sebenarnya. Beberapa contohnya:
1. Gaya Hidup “Crazy Rich”
Fenomena pamer harta di media sosial—mulai dari mobil mewah, pesta glamor, hingga belanja barang branded—adalah bentuk snobisme kontemporer. Perilaku ini berusaha menunjukkan superioritas dengan cara menampilkan konsumsi yang mencolok.
2. Kelas Menengah yang Ingin Naik Derajat
Ada pula masyarakat kelas menengah yang rela berutang demi gaya hidup yang tampak mewah. Status sosial seakan bisa dibeli dengan citra, meski realitasnya penuh tekanan finansial.
3. Budaya Pamer di Media Sosial
Dalam era digital, snobisme bahkan tidak lagi terbatas pada barang, tetapi juga pengalaman. Pamer liburan ke luar negeri, makan di restoran mahal, atau sekadar memperlihatkan “gaya hidup ideal” menjadi cara baru untuk mengangkat status diri di hadapan publik.
Apakah Snobisme Salah?
Snobisme sebenarnya adalah bagian alami dari dinamika sosial. Keinginan naik kelas bisa menjadi motivasi positif untuk bekerja keras. Namun, masalah muncul ketika status semu lebih dipentingkan daripada kualitas diri. Obsesi status seringkali menjerumuskan pada utang, stres, bahkan kehilangan jati diri.
Lebih dari itu, snobisme berisiko memperlebar kesenjangan sosial. Masyarakat yang terlalu terobsesi pada citra bisa melupakan nilai solidaritas, kesederhanaan, dan empati.
Refleksi untuk Kita
Fenomena snobisme, dari Inggris abad ke-18 hingga era “crazy rich” sekarang, menunjukkan bahwa manusia selalu mencari pengakuan sosial. Bedanya, kalau dulu snobisme berupa meniru aristokrat, kini ia hadir dalam bentuk konsumsi mewah dan budaya pamer.
Pertanyaannya: apakah kita ingin dikenal karena apa yang kita punya, atau karena siapa kita sebenarnya?
Kesimpulan:
Snobisme bukan sekadar istilah kuno, melainkan fenomena sosial yang terus berulang. Dari kelas pekerja di Inggris hingga masyarakat modern dengan perilaku “crazy rich”, obsesi status tetap menjadi bagian dari dinamika manusia. Alih-alih terjebak pada pamer status, mungkin sudah saatnya kita kembali pada nilai autentisitas—dihargai bukan karena citra, tetapi karena kualitas diri yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar: