Dalam perjalanan hidup, manusia sering berhadapan dengan pertanyaan besar: apakah segalanya sudah ditentukan oleh takdir, ataukah kita memiliki kebebasan penuh untuk menentukan arah hidup? Filsafat Stoik, atau Stoisisme, menawarkan jawaban yang sederhana namun mendalam. Bagi para filsuf Stoik, takdir adalah bagian tak terpisahkan dari tatanan kosmos. Manusia tidak mungkin melepaskan diri dari alurnya. Justru dengan menerima takdir, kita akan menemukan ketenangan batin.
Prinsip Dasar: Takdir sebagai Bagian dari Alam
Stoisisme lahir di Yunani kuno dan berkembang pesat di Roma, dengan tokoh-tokoh terkenal seperti Epiktetos, Seneca, dan Marcus Aurelius. Mereka memandang semesta sebagai sebuah tatanan rasional yang diatur oleh hukum kosmik (logos). Segala peristiwa yang terjadi, baik maupun buruk menurut penilaian kita, merupakan bagian dari keteraturan alam itu.
Karena itu, takdir bukanlah musuh yang harus ditaklukkan. Takdir adalah jalan yang harus dilalui, entah kita rela ataupun terpaksa. Ada pepatah Stoik yang terkenal: “Fate leads the willing and drags the unwilling” takdir menuntun orang yang bersedia dan menyeret orang yang menolak. Dengan kata lain, penderitaan muncul ketika kita melawan apa yang tidak bisa diubah. Sebaliknya, kedamaian lahir ketika kita menerima takdir dengan lapang dada.
Dikotomi Kendali: Fokus pada Hal yang Bisa Kita Atur
Stoisisme menekankan prinsip yang sangat relevan hingga hari ini, yaitu dikotomi kendali. Dunia terbagi menjadi dua:
1. Hal-hal di luar kendali kita: kelahiran, kematian, penyakit, cuaca, opini orang lain, bahkan peristiwa politik besar. Semua ini tidak dapat kita ubah.
2. Hal-hal yang berada dalam kendali kita: pendapat, sikap, pilihan moral, dan respon emosional kita.
Dengan memahami batas ini, kita bisa berhenti membuang energi pada hal-hal yang tidak mungkin kita kendalikan. Alih-alih, kita mengarahkan perhatian pada sikap dan pilihan kita sendiri. Inilah kebebasan sejati menurut Stoik: bukan bebas dari takdir, melainkan bebas dalam merespon takdir.
Menyerah Bukan Berarti Pasrah Buta
Ada kesalahpahaman bahwa menerima takdir berarti berhenti berusaha. Bagi filsafat Stoik, itu keliru. Mereka tidak mengajarkan pasrah tanpa tindakan, melainkan keseimbangan: berusaha sebaik mungkin pada hal yang bisa kita ubah, dan menerima dengan tenang hal yang tidak bisa kita hindari.
Misalnya, seorang petani bisa bekerja keras menanam padi, merawat sawah, dan menjaga hama. Namun ia tidak bisa mengendalikan datangnya hujan atau bencana alam. Ketika hasil panen tidak sesuai harapan, sikap Stoik mendorongnya untuk menerima kenyataan itu sebagai bagian dari takdir, tanpa kehilangan semangat untuk kembali berusaha.
Relevansi Stoik dalam Hidup Modern
Dalam dunia modern yang penuh ketidakpastian—mulai dari resesi ekonomi, perubahan iklim, hingga ketidakstabilan politik—prinsip Stoik tentang takdir tetap relevan. Kita tidak bisa mengendalikan kebijakan global, tetapi kita bisa mengatur keuangan pribadi. Kita tidak bisa mencegah datangnya usia tua, tetapi kita bisa memilih untuk menjalani hidup dengan bermakna.
Ketika kita berhenti menuntut dunia berjalan sesuai keinginan pribadi, kita akan merasakan ketenangan batin. Stoisisme mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak bergantung pada keadaan luar, melainkan pada sikap kita dalam menerimanya.
Penutup
Prinsip Stoik tentang takdir memberi kita kebijaksanaan untuk hidup lebih tenang. Takdir memang tidak bisa dihindari, namun cara kita meresponnya sepenuhnya ada dalam kendali kita. Menerima takdir bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan batin. Dengan sikap itu, kita belajar menemukan ketenangan dalam ketidakpastian dan kebebasan dalam keterbatasan.
Stoisisme mengingatkan kita: ketenangan bukan datang dari mengubah semesta, melainkan dari mengubah cara kita menerima semesta.

Tidak ada komentar: