Mengapa Oposisi Penting dalam Demokrasi
Dalam sistem demokrasi, oposisi bukan sekadar pihak yang kalah pemilu. Oposisi berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan, pengawas kebijakan, sekaligus saluran aspirasi bagi masyarakat yang berbeda pandangan dengan pemerintah. Tanpa oposisi yang kuat, kontrol terhadap penguasa melemah, dan rakyat kehilangan wadah legal untuk menyuarakan ketidakpuasan.
Di banyak negara, oposisi yang sehat menjadi “rem” agar penguasa tidak keluar dari jalur konstitusi. Sebaliknya, ketika oposisi lumpuh, pemerintah bisa cenderung otoriter dan tidak responsif terhadap kebutuhan rakyat.
Bahaya Vakumnya Oposisi
Ketika tidak ada oposisi nyata, atau hanya ada oposisi lemah yang tidak berfungsi optimal, konsekuensinya bisa sangat berbahaya:
1. Krisis Legitimasi
Jika rakyat melihat semua partai hanya sibuk berbagi kekuasaan tanpa ada yang benar-benar memperjuangkan aspirasi publik, kepercayaan terhadap sistem politik akan runtuh. Pemerintah mungkin masih sah secara hukum, tetapi kehilangan legitimasi moral di mata rakyat.
2. Ledakan Sosial
Ketidakpuasan yang tidak tersalurkan di jalur formal sering kali berujung pada protes jalanan, kerusuhan, bahkan kekerasan. Hal ini sudah terjadi di beberapa negara, termasuk Nepal baru-baru ini, di mana larangan media sosial hanya menjadi pemicu, sementara akar masalahnya adalah ketiadaan oposisi efektif, korupsi, dan nepotisme.
3. Munculnya Gerakan Alternatif di Luar Sistem
Vakum oposisi bisa memunculkan kelompok sipil, gerakan mahasiswa, atau tokoh populis non-partai yang mengklaim mewakili rakyat. Ini bisa baik jika mendorong perubahan positif, tetapi juga bisa berbahaya bila berkembang menjadi gerakan ekstrem yang tidak tunduk pada hukum dan perundang-undangan.
Fenomena Oposisi Boneka
Salah satu masalah lain adalah munculnya oposisi boneka.
Partai atau kelompok yang seolah-olah menjadi oposisi, padahal sebenarnya tidak memiliki taring. Ciri-ciri oposisi boneka antara lain:
• Lebih sibuk menjaga citra daripada mengkritisi kebijakan.
• Hanya mengoreksi hal-hal kecil, tapi diam pada isu besar yang menyangkut kepentingan rakyat.
• Dekat dengan penguasa, bahkan ikut menikmati fasilitas dan kekuasaan.
Dalam kondisi ini, rakyat semakin kehilangan harapan, karena yang seharusnya menjadi pengawas justru berperan sebagai “pemanis demokrasi”. Demokrasi akhirnya hanya menjadi seremonial tanpa substansi.
Pelajaran dari Nepal dan Relevansi untuk Indonesia
Kasus Nepal menunjukkan bahwa ketika oposisi lumpuh, rakyat bisa menciptakan oposisi mereka sendiri di luar jalur hukum. Di Indonesia, fenomena ini juga patut diwaspadai. Jika partai oposisi terlalu kecil atau terkooptasi, maka:
• Aspirasi rakyat bisa lari ke jalanan.
• Kepercayaan pada demokrasi formal menurun.
• Potensi konflik sosial meningkat.
Lebih berbahaya lagi, jika oposisi boneka semakin marak, rakyat akan merasa dikhianati dua kali: oleh pemerintah yang gagal dan oleh oposisi yang pura-pura berjuang.
Kesimpulan: Oposisi Sehat adalah Pilar Demokrasi
Oposisi bukan musuh pemerintah, melainkan mitra kritis yang memastikan kekuasaan tetap berada pada jalur konstitusi.
Bahaya hilangnya oposisi — baik karena vakum, koalisi besar tanpa lawan, atau oposisi boneka — bisa meruntuhkan fondasi demokrasi itu sendiri.
Jika pemerintah ingin menjaga stabilitas, maka keberadaan oposisi yang kuat seharusnya dipandang sebagai penyelamat demokrasi, bukan ancaman. Sebaliknya, bagi rakyat, mengawasi agar oposisi benar-benar bekerja adalah bagian penting dari menjaga masa depan bangsa.

Tidak ada komentar: