Menjelang akhir tahun, banyak lembaga pemerintah mendadak sibuk. Rapat diadakan, kegiatan dikebut, dan pembelanjaan dipercepat. Tujuannya sederhana: mengejar penyerapan anggaran.
Ketika waktu semakin mepet, logika “yang penting terserap” sering kali mengalahkan logika “apakah ini benar-benar dibutuhkan.” Maka tidak jarang muncul kegiatan dadakan, pengadaan barang yang tak relevan, atau proyek yang dibuat sekadar untuk menghabiskan dana. Ironisnya, semua itu dilakukan atas nama pelayanan.
Padahal, kalau kita mau jujur, melayani bukan berarti menghabiskan anggaran, tetapi memenuhi kebutuhan masyarakat dengan bijak dan tepat. Jika pelayanan berangkat dari tindakan mendengar, dari proses memahami masyarakat yang dilayani, tentu arah kebijakan akan sangat berbeda. Anggaran tidak akan dikejar demi serapan, melainkan dikelola agar berdampak.
Masalahnya, sistem birokrasi kita masih menempatkan penyerapan anggaran sebagai ukuran keberhasilan. Laporan keuangan yang “100% terserap” sering dianggap indikator kinerja baik, tanpa mempertanyakan apakah serapan itu betul-betul menghadirkan manfaat. Akibatnya, pelayanan publik menjadi simbolik dan administratif, bukan empatik dan substantif.
Dalam paradigma seperti ini, masyarakat kerap menjadi objek, penerima pasif dari kebijakan yang dirancang di balik meja. Padahal kehidupan masyarakat bersifat dinamis: kebutuhan mereka berubah seiring waktu, konteks sosialnya bergerak, dan prioritasnya bergeser. Jika pelayanan publik ingin benar-benar relevan, maka yang dibutuhkan bukan perencanaan kaku, tetapi kemampuan mendengar secara berkelanjutan.
Melayani dengan mendengar bukan konsep yang idealistis. Justru inilah fondasi efisiensi dan akuntabilitas sejati. Pemerintah yang mau mendengar akan tahu mana program yang relevan dan mana yang harus dihentikan. Ia tidak perlu menghabiskan anggaran demi angka, karena keberhasilan akan tampak dari kepercayaan rakyat yang tumbuh, bukan dari grafik keuangan yang penuh warna.
Dalam konteks ini, anggaran hanyalah alat, bukan tujuan. Ia seharusnya menjadi sarana untuk membangun manusia, bukan membangun laporan. Maka, jika paradigma pelayanan digeser ke arah empati, otomatis logika penyerapan akan terkoreksi. Dana publik akan mengalir sesuai kebutuhan yang nyata, bukan untuk memenuhi kewajiban administratif.
Kritik ini bukan untuk menyalahkan siapa pun, tetapi untuk mengingatkan bahwa di balik setiap angka dalam laporan keuangan ada manusia yang menunggu perubahan hidupnya. Ketika pelayanan publik hanya berorientasi pada penyerapan, maka masyarakat kehilangan kesempatan untuk benar-benar merasakan kehadiran pemerintah.
Sudah saatnya kita mengembalikan semangat pelayanan publik kepada makna dasarnya: menjadi hadir bagi rakyat. Sebab melayani tidak diukur dari seberapa banyak uang dibelanjakan, melainkan dari seberapa dalam pemerintah memahami mereka yang dilayani.
Reviewed by Admin Brinovmarinav
on
15.51
Rating:

Tidak ada komentar: