Sering kali kita mendengar kalimat, “Kami hadir untuk melayani masyarakat.” Kalimat itu terdengar indah, bahkan menjadi slogan banyak lembaga atau instansi pemerintah. Namun, dalam praktiknya, kata melayani sering kali berhenti pada jargon. Ia kehilangan makna sejatinya karena tidak berangkat dari pihak yang dilayani, melainkan dari asumsi pihak yang merasa diri sebagai pelayan.
Padahal, hakikat melayani bukan soal memberi, melainkan soal memahami. Melayani berarti menanggalkan ego diri dan belajar melihat dunia dari mata orang lain. Dalam konteks sosial, pelayanan sejati selalu dimulai dari proses tahu, tahu siapa yang akan dilayani, apa kebutuhan mereka, apa yang mereka rasakan, dan bagaimana mereka memaknai hidupnya.
Sayangnya, dalam banyak kasus, pelayanan justru dimulai dari rencana di meja rapat. Orang-orang memutuskan bentuk pelayanan berdasarkan anggaran, target, atau kebiasaan birokrasi. Hasilnya, kegiatan yang disebut “pelayanan” kadang berubah menjadi sekadar formalitas: menyalurkan bantuan yang tidak dibutuhkan, membuat program yang tidak relevan, atau sekadar menghabiskan dana agar laporan tampak berjalan baik.
Pelayanan yang sejati semestinya berangkat dari empati sosial. Empati inilah yang menjadi jembatan antara pelayan dan yang dilayani. Contohnya sederhana: melayani anak yatim-piatu bukan hanya memberi makanan dan pakaian, tetapi juga mengisi ruang batin mereka dengan kasih dan perhatian; melayani masyarakat bukan hanya membangun fasilitas, tetapi juga mendengarkan keluhan dan harapan mereka dengan hati terbuka.
Ketika pelayanan dipahami dari sudut orang yang dilayani, maka muncul kepekaan yang lebih dalam. Pelayanan tidak lagi bersifat top–down, tetapi tumbuh dari relasi yang sejajar dan manusiawi. Tidak ada lagi perasaan “kami menolong mereka”, melainkan “kami berjalan bersama mereka”. Inilah bentuk pelayanan yang menghidupkan, karena di dalamnya ada pengakuan atas martabat dan pengalaman orang lain.
Sementara itu, pelayanan yang dimulai dari pihak pelayan cenderung jatuh pada bentuk pelayanan semu, kegiatan yang ramai di media sosial tapi miskin makna. Orang merasa telah berbuat baik, padahal yang dilayani tidak benar-benar merasa terbantu. Pelayanan seperti ini lebih sibuk dengan tampilan daripada substansi, lebih fokus pada hasil cepat daripada perubahan yang berakar.
Kita bisa belajar dari satu prinsip sederhana: melayani adalah mendengar sebelum bertindak. Di sinilah perbedaan antara pelayanan yang membangun kepercayaan dan yang sekadar menggugurkan kewajiban. Mendengar adalah tindakan etis, bahkan spiritual. Ia menunjukkan bahwa kita menghormati pengalaman orang lain, bukan menundukkan mereka pada pandangan kita sendiri.
Dalam dunia yang semakin kompleks, melayani tidak lagi cukup dengan niat baik. Ia menuntut kesadaran sosial dan kerendahan hati. Pelayanan sejati lahir ketika seseorang atau sebuah lembaga bersedia menunda “memberi”, agar terlebih dahulu “mengerti”. Dan hanya dari pemahaman yang tulus itu, tindakan melayani bisa benar-benar berarti.
Akhirnya, melayani bukan tentang siapa yang kuat, berkuasa, atau memiliki lebih banyak sumber daya. Melayani adalah tentang siapa yang mampu menanggalkan kepentingan diri untuk memahami kepentingan orang lain. Sebab pada titik itulah, pelayanan berubah dari sekadar aktivitas menjadi sebuah relasi kemanusiaan yang sejati.
Reviewed by Admin Brinovmarinav
on
14.33
Rating:

Tidak ada komentar: