<!-- SEO Blogger Start --> <meta content='text/html; charset=UTF-8' http-equiv='Content-Type'/> <meta content='blogger' name='generator'/> <link href='https://www.makkellar.com/favicon.ico' rel='icon' type='image/x-icon'/> <link href='https://www.makkellar.com/2025/12/belajar-dari-bencana-sumatera-mengapa.html' rel='canonical'/> <link rel="alternate" type="application/atom+xml" title="Menjadi Perantara Menuju Jalan Sejahtera - Atom" href="https://www.makkellar.com/feeds/posts/default" /> <link rel="alternate" type="application/rss+xml" title="Menjadi Perantara Menuju Jalan Sejahtera - RSS" href="https://www.makkellar.com/feeds/posts/default?alt=rss" /> <link rel="service.post" type="application/atom+xml" title="Menjadi Perantara Menuju Jalan Sejahtera - Atom" href="https://www.blogger.com/feeds/2646944499045113697/posts/default" /> <link rel="alternate" type="application/atom+xml" title="Menjadi Perantara Menuju Jalan Sejahtera - Atom" href="https://www.makkellar.com/feeds/1965628017066118/comments/default" /> <!--Can't find substitution for tag [blog.ieCssRetrofitLinks]--> <link href='https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4AvXvqHnKSnO8OKD0wh-IN83DX5Lb1xpJLU4Vay4M0wrse6nkjKCnxTDa9HMyHg-KnPUUCBSp-yJ0JNCn85pdcnlHzAfKs5ms-egd2cpK2aJuTZwY1jBQnIkA55_8Oo5C7vocZDGRrynQJvvoVoBrYo5UgpkCAXXUdloW_NvDeyASjbzhfDKuw2V1ikM/s320/Kapan%20Kita%20Mau%20Belajar%20dari%20Bencana%20yang%20Menimpa%20Kita.jpg' rel='image_src'/> <meta content='Bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara kembali menegaskan siklus “kaget lalu lupa” dalam penanganan bencana ekologis' name='description'/> <meta content='https://www.makkellar.com/2025/12/belajar-dari-bencana-sumatera-mengapa.html' property='og:url'/> <meta content='Belajar dari Bencana Sumatera: Mengapa Kita Selalu Terlambat dan Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Jepang' property='og:title'/> <meta content='Bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara kembali menegaskan siklus “kaget lalu lupa” dalam penanganan bencana ekologis' property='og:description'/> <meta content='https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4AvXvqHnKSnO8OKD0wh-IN83DX5Lb1xpJLU4Vay4M0wrse6nkjKCnxTDa9HMyHg-KnPUUCBSp-yJ0JNCn85pdcnlHzAfKs5ms-egd2cpK2aJuTZwY1jBQnIkA55_8Oo5C7vocZDGRrynQJvvoVoBrYo5UgpkCAXXUdloW_NvDeyASjbzhfDKuw2V1ikM/w1200-h630-p-k-no-nu/Kapan%20Kita%20Mau%20Belajar%20dari%20Bencana%20yang%20Menimpa%20Kita.jpg' property='og:image'/> <!-- Title --> <title> Bukan makelar tapi Menjadi peranta untuk kebaikan bersama Belajar dari Bencana Sumatera: Mengapa Kita Selalu Terlambat dan Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Jepang - Menjadi Perantara Menuju Jalan Sejahtera Belajar dari Bencana Sumatera: Mengapa Kita Selalu Terlambat dan Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Jepang - Menjadi Perantara Menuju Jalan Sejahtera

Belajar dari Bencana Sumatera: Mengapa Kita Selalu Terlambat dan Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Jepang


1. Ketika Bencana Terjadi, Kita Kaget. Setelah Itu, Kita Lupa.

Banjir bandang dan longsor yang baru-baru ini melanda Pulau Sumatera meliputi Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara kembali membuka luka lama yang belum pernah sembuh. Hujan ekstrem akibat Siklon Tropis Senyar mungkin menjadi pemicu, tetapi penyebab utamanya berada jauh di balik awan gelap itu: hutan yang digunduli, tebing yang dikupas habis, dan sungai yang kehilangan penyangganya.

Pemandangan kayu gelondongan dan potongan rapi yang hanyut di sungai adalah bukti diam bahwa kita sedang menuai apa yang kita tanam. Namun seperti biasa, reaksi awal dari berbagai pejabat adalah penyangkalan. Baru setelah tanda-tandanya tak terbantahkan, narasi bergeser mengakui bahwa kerusakan ekologis memiliki peran besar.

Tetapi persoalan terbesar bukan hanya pada apa yang kita akui atau tidak akui. Melainkan apa yang selalu terjadi setelah itu: kita melupakan.

2. WALHI Sudah Berkali-Kali Mengingatkan—Tetapi Kita Lebih Sering Mengabaikan

Setiap tahun WALHI mengeluarkan rilis peringatan mengenai potensi bencana ekologis jika pembalakan liar dan perusakan hutan tidak dihentikan.

Pola yang diuraikan WALHI selalu sama:

deforestasi meningkat,

izin pertambangan meluas,

sungai makin dangkal,

keseimbangan ekologis hancur.

Namun peringatan itu sering kali tenggelam dalam siklus pemberitaan, tidak membentuk memori sosial yang panjang. Pada akhirnya, ketika banjir dan longsor datang, publik terkejut seolah bencana itu datang tanpa tanda.

WALHI berbicara dalam bahasa data, tetapi negara sering merespons dengan bahasa politis: mengakui tanpa sungguh-sungguh menindak.

3. Jepang: Hidup dalam Risiko, Tapi Tidak Hidup dalam Kelupaan

Saat memikirkan bagaimana negara lain mengelola bencana, Jepang menjadi cermin yang memantulkan pelajaran berharga. Negeri itu hidup di atas patahan bumi, dihantam ratusan gempa setiap tahun, dan beberapa kali diguncang tsunami mematikan. Namun mereka hampir tidak pernah “kaget”.

Mengapa?

Karena mereka tidak pernah lupa.

Pelajaran besar dari Jepang:

1. Memori kolektif dipelihara melalui pendidikan, museum bencana, dan peringatan tahunan.

2. Mitigasi lebih diutamakan daripada respons, dengan simulasi rutin dan infrastruktur tahan bencana.

3. Penegakan aturan tidak kompromi, terutama terkait zona merah dan standar bangunan.

Mereka sadar bahwa bencana tidak bisa dicegah, tetapi kerusakannya bisa diminimalkan. Kita sadar bahwa bencana bisa dicegah, tetapi kita gagal meminimalkan kerusakannya.

Kontras yang menyedihkan.

4. “Membiarkan Pembalakan Liar Sama Saja Menghentikan Masa Depan”

Pernyataan Anhar Gonggong ini layak diputar ulang setiap hari di ruang publik.

Pembalakan liar bukan hanya tindakan kriminal terhadap hutan, tetapi tindak kekerasan terhadap masa depan anak-anak. Setiap pohon yang hilang adalah:

berkurangnya kapasitas tanah menahan air,

meningkatnya risiko longsor,

hilangnya habitat,

dan bertambahnya beban bencana bagi generasi berikutnya.

Ketika negara membiarkan pembalakan, negara sedang menunda kematian sebuah desa, sebuah sungai, atau sebuah kehidupan—menunggu sampai hari hujan terbesar itu datang dan menghancurkan semuanya.

5. Siklus “Kaget-Lupa-Korban-Kaget Lagi” Harus Diakhiri

Inti dari refleksi ini sederhana tetapi penting: Indonesia bukan kekurangan pengetahuan tentang penyebab bencana, tetapi kekurangan kemauan politik untuk mengubahnya.

Selama pendekatan kita tetap reaktif, selama hutan terus hilang, selama penegakan hukum lemah, selama bencana direspons tanpa diantisipasi, maka tragedi seperti di Sumatera akan terus berulang.

Sejarah seharusnya menjadi guru yang tegas.

Namun kita menjadikannya sekadar buku harian yang dibuka ketika bencana datang, lalu ditutup kembali ketika matahari kembali bersinar.

6. Kita Tidak Butuh Lagi Janji. Kita Butuh Keberanian.

Pernyataan Presiden Prabowo bahwa reboisasi harus kembali diajarkan di sekolah adalah langkah awal yang baik. Tetapi pendidikan tidak akan cukup tanpa:

penertiban tegas pembalakan liar,

pemetaan ulang kawasan rawan bencana,

restorasi ekologis skala besar,

dan transformasi tata kelola yang tidak tunduk pada kepentingan jangka pendek.

Kita tidak bisa menunggu tragedi berikutnya sebagai alarm. Alarm sudah berbunyi setiap tahun, dari Aceh sampai Papua.

Dan setiap kali kita menunda, kita mengamankan keuntungan bagi segelintir, sambil memperbesar risiko bagi jutaan rakyat.

Kesimpulan: Bencana Harus Menjadi Titik Balik, Bukan Sekadar Fase Viral

Sumatera mengajarkan kita lagi bahwa bencana ekologis bukan sekadar persoalan alam, tetapi konsekuensi langsung dari pilihan politik, ekonomi, dan etika yang diambil negara.

Jika Jepang mengajarkan bahwa memori adalah fondasi keselamatan, maka Indonesia harus belajar bahwa kelupaan adalah fondasi bencana.

Kita tidak boleh melupakan lagi.

Karena yang dipertaruhkan bukan hanya hutan atau sungai.

Yang dipertaruhkan adalah masa depan.

Belajar dari Bencana Sumatera: Mengapa Kita Selalu Terlambat dan Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Jepang Belajar dari Bencana Sumatera: Mengapa Kita Selalu Terlambat dan Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Jepang Reviewed by Admin Brinovmarinav on 11.29 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.