Kita semua pernah, dan bahkan mungkin sering, menyerahkan data pribadi ke berbagai pihak tanpa banyak pertimbangan. Saat mengurus keperluan di RT/RW, pendaftaran BPJS, beli properti, daftar sekolah anak, vaksinasi, hingga perpanjangan SIM—data seperti KTP, KK, NPWP, foto, bahkan sidik jari dan biometrik dengan mudah kita berikan.
Kita jarang bertanya:
Data ini untuk apa saja digunakan?
Siapa yang akan menyimpannya?
Apakah akan dihapus setelah selesai digunakan?
Kita percaya begitu saja. Dan saat ada kebocoran, baru kemudian kita merasa khawatir, marah, dan merasa dikhianati.
🔍 Saat Data Pribadi Jadi Barang Publik
Fenomena ini terjadi karena kesadaran kita tentang nilai data pribadi masih sangat rendah. Kita tumbuh di lingkungan yang menganggap informasi pribadi sebagai sesuatu yang “biasa”, tidak perlu dilindungi, bahkan sering dianggap tidak penting jika “bukan rahasia besar”.
Namun, realitanya:
Banyak data pribadi bocor dari lembaga resmi, bukan hanya dari aktivitas online.
Fotokopi KTP bisa digunakan untuk membuat rekening palsu atau pinjaman online ilegal.
Data kesehatan bisa dijual ke pihak asuransi untuk menolak klaim atau menaikkan premi.
Informasi lokasi atau preferensi pribadi bisa digunakan untuk manipulasi psikologis lewat iklan digital.
Data kita tersebar bukan hanya karena diretas, tapi karena kita menyerahkannya tanpa kehati-hatian.
🧠 Mengapa Kesadaran Kita Lemah?
Ada beberapa alasan mengapa masyarakat Indonesia masih kurang sadar akan pentingnya privasi data:
1. Budaya kolektif yang menekankan keterbukaan antarwarga sering membuat kita merasa tak enak kalau dianggap "tertutup" atau "tidak percaya".
2. Kurangnya edukasi digital yang sistematis di sekolah atau masyarakat.
3. Tidak adanya kontrol pasca-penyerahan data. Kita tidak tahu ke mana data kita pergi.
4. Ketiadaan regulasi yang benar-benar ditegakkan. Meski sudah ada UU PDP, banyak yang belum memahami atau menerapkannya secara benar.
✅ Apa yang Bisa Kita Lakukan untuk Melindungi Data?
Meski kita hidup di tengah sistem yang belum sempurna, ada banyak langkah praktis yang bisa kita ambil untuk mengurangi risiko kebocoran data pribadi:
1. Minimalkan Fotokopi KTP & Dokumen Pribadi
Jangan mudah memberikan salinan KTP/KK ke sembarang tempat. Bila terpaksa, coret dan beri keterangan di salinan, misalnya:
"Hanya untuk keperluan A, tidak untuk disalahgunakan. Tanggal: 26 Juli 2025"
2. Hindari Kirim Data via Chat Biasa
Jangan mengirim foto KTP atau dokumen penting lewat WhatsApp, Telegram, atau media sosial tanpa pengamanan. Gunakan platform terenkripsi, dan hapus setelah selesai.
3. Tanyakan Tujuan & Pengelolaan Data
Jangan sungkan bertanya:
"Data ini disimpan di mana?"
"Siapa yang mengakses?"
"Akan dihapus setelah berapa lama?" Ini akan membuat pihak pengumpul lebih berhati-hati.
4. Jangan Asal Klik Persetujuan Online
Selalu baca syarat dan kebijakan privasi saat mengisi formulir daring. Jangan mudah memberikan izin untuk akses kamera, mikrofon, atau kontak di aplikasi yang tidak jelas.
5. Lindungi dengan Verifikasi Ganda (2FA)
Untuk akun email, media sosial, dan perbankan digital, aktifkan two-factor authentication agar akun tidak mudah diambil alih.
6. Cek Kebocoran Secara Berkala
Gunakan situs seperti https://haveibeenpwned.com untuk memeriksa apakah email Anda pernah bocor. Bila ya, segera ubah kata sandi.
7. Edukasi Keluarga dan Lingkungan
Orang tua, anak-anak, bahkan RT/RW perlu dibekali pengetahuan tentang pentingnya kerahasiaan data. Kita bisa menjadi bagian dari perubahan.
🌐 Privasi Adalah Kedaulatan Diri
Seringkali kita bicara tentang “kedaulatan bangsa” dan “kemerdekaan digital”. Tapi itu semua dimulai dari kedaulatan setiap individu atas data pribadinya sendiri.
Kita perlu mulai menyadari bahwa:
Data pribadi adalah aset digital, layaknya harta yang harus dijaga.
Ketika data kita bocor, yang tercemar bukan hanya nama kita, tapi juga identitas, kepercayaan, dan masa depan kita.
Kita tak bisa terus bergantung pada negara atau teknologi—kewaspadaan pribadi adalah benteng pertama.
✍️ Penutup: Privasi Tidak Lagi Pilihan
Privasi bukan hanya hak, tapi juga tanggung jawab. Di zaman ketika data bisa lebih berharga dari emas, maka membiarkan data kita tersebar tanpa kendali berarti menyerahkan kendali atas hidup kita kepada orang lain.
Mari mulai hari ini: lebih hati-hati, lebih kritis, lebih peduli. Karena begitu data keluar dari tangan kita, kita tak pernah tahu ke mana ia akan berakhir.

Tidak ada komentar: