Diogenes dan Manusia Setengah Dewa
Dalam sejarah filsafat Yunani, Diogenes dari Sinope dikenal sebagai sosok eksentrik, hidup sederhana, dan menolak segala bentuk kemewahan. Ia percaya bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa dicapai ketika manusia mampu menguasai dirinya sendiri, bebas dari hasrat dan kebutuhan berlebihan.
Bagi Diogenes, manusia yang sanggup mengendalikan diri adalah sosok setengah dewa. Ia bukan dewa dalam arti mitologis, melainkan manusia yang telah menaklukkan dirinya sendiri. Sebab, sebagaimana ia katakan, “Dewa tidak membutuhkan apa-apa, dan orang bijak hanya membutuhkan sedikit.”
Dalam kalimat itu terkandung kebijaksanaan mendalam: semakin sedikit seseorang membutuhkan, semakin besar kebebasan yang ia miliki. Dan dalam konteks kekuasaan, pengendalian diri menjadi batas antara pemimpin yang bijak dan penguasa yang rakus.
Dari Diogenes ke Dunia Politik Modern
Zaman berubah, tetapi nafsu kekuasaan tetap sama. Di tengah dunia politik yang sering diwarnai ambisi, kepentingan, dan citra semu, konsep Diogenes terasa seperti cermin yang jernih.
Di Indonesia, masyarakat sering menaruh harapan besar kepada pemimpin, mereka dianggap sebagai orang-orang pilihan, bahkan kadang dipuja bagaikan manusia setengah dewa. Lagu Iwan Fals pernah menyinggung istilah itu dengan nada satir, mengingatkan kita bahwa penghormatan berlebihan kepada pemimpin bisa berubah menjadi penyesalan, bila yang dipuja justru kehilangan sisi kemanusiaannya.
Namun, jika pemimpin benar-benar bisa mengekang kepentingan diri sendiri dan menata kekuasaan dengan etika, maka gelar “manusia setengah dewa” justru menemukan makna positifnya. Ia bukan lagi simbol kesombongan, melainkan simbol penguasaan diri dan kebijaksanaan moral.
Pemimpin yang Menguasai Diri, Bukan Dikuasai Ambisi
Dalam pandangan Diogenes, kekuasaan terbesar bukanlah menguasai orang lain, melainkan menguasai diri sendiri.
Seorang pemimpin sejati tidak dikuasai oleh:
• kerakusan akan jabatan,
• nafsu memperkaya diri, atau
• godaan untuk menindas yang lemah.
Ia justru menempatkan diri sebagai pelayan bagi kebaikan bersama, bukan penguasa atas kehendak rakyat. Pengendalian diri di tengah gemerlap kekuasaan adalah bentuk kebesaran jiwa yang hanya sedikit orang sanggup mencapainya.
Dalam arti ini, manusia setengah dewa bukanlah sosok yang disembah, tetapi teladan moral yang hidup. Ia mampu berkata “cukup” ketika dunia menuntut “lebih”, dan berkata “tidak” ketika kekuasaan memanggil untuk menyeleweng.
Relevansi untuk Politik Indonesia
Bangsa ini tidak kekurangan orang pandai, tetapi sering kekurangan orang yang berani menahan diri. Kita butuh pemimpin yang berani menolak kepentingan pribadi demi keadilan publik, pemimpin yang tidak mudah tergoda oleh kemegahan, dan tetap sederhana di tengah pujian.
Seorang politikus yang menguasai diri dapat menjadi contoh bahwa kekuasaan bisa selaras dengan etika, dan bahwa jabatan tidak harus merusak nurani. Di situlah konsep setengah dewa versi Diogenes menemukan bentuk paling indahnya, bukan dalam kemewahan, tetapi dalam kesadaran diri dan tanggung jawab moral.
Penutup: Seruan bagi Para Pemimpin Negeri Ini
Kita tidak menuntut pemimpin menjadi dewa, cukup menjadi manusia yang sadar batas, mampu menahan diri, dan tidak memperalat kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
Diogenes mungkin hidup di dalam gentong, tetapi pikirannya menampung kebijaksanaan besar: “Manusia yang berkuasa atas dirinya sendiri jauh lebih agung daripada yang berkuasa atas ribuan orang.”
Maka, bagi para politikus negeri ini, semoga seruan kuno itu menggema kembali: Jadilah manusia setengah dewa, bukan karena kekuasaanmu, tapi karena kendali dirimu atas kekuasaan itu.
Reviewed by Admin Brinovmarinav
on
08.24
Rating:

Tidak ada komentar: