Kita semua ingin bahagia. Namun, tanpa disadari, sering kali kita mengejar kebahagiaan yang justru membuat hati terasa lelah. Ada saat di mana kita merasa senang karena pencapaian pribadi, tapi beberapa waktu kemudian muncul kekosongan yang sulit dijelaskan.
Di sisi lain, ada kebahagiaan yang tenang, lahir dari momen ketika kita peduli, berbagi, atau sekadar memahami perasaan orang lain. Dua bentuk kebahagiaan ini sama-sama nyata, namun berasal dari tempat yang berbeda: egoistik dan empatik.
Kebahagiaan Egoistik: Bahagia yang Berpusat pada Diri Sendiri
Kebahagiaan egoistik muncul ketika kita mendapatkan sesuatu yang memuaskan keinginan pribadi. Kita bahagia karena merasa berhasil, dipuji, dihargai, atau diakui. Semua itu manusiawi, tidak salah, karena manusia memang punya kebutuhan untuk dihargai dan dicintai.
Namun, kebahagiaan ini cenderung singkat. Begitu situasi berubah, pujian berhenti, atau keberhasilan digantikan oleh tuntutan baru, rasa senang itu pun menguap.
Kita seperti mengisi gelas yang selalu bocor, terus menuang, tapi tak pernah penuh.
Mengapa demikian? Karena kebahagiaan egoistik hanya menyentuh permukaan. Ia membuat kita “terhibur”, tapi jarang membuat kita “tenang”. Kita merasa bahagia karena memiliki, bukan karena menjadi.
Kebahagiaan Empatik: Bahagia yang Lahir dari Keterhubungan
Berbeda dengan kebahagiaan egoistik, kebahagiaan empatik muncul ketika kita berbagi dan terhubung dengan orang lain. Kita tidak lagi bahagia karena mendapatkan sesuatu, tetapi karena merasakan kebahagiaan orang lain.
Misalnya, saat kita memberi bantuan kecil dan melihat seseorang tersenyum tulus. Saat kita mendengarkan curahan hati teman tanpa menghakimi. Atau saat kita ikut bersyukur atas keberhasilan orang lain.
Dalam momen seperti itu, otak kita melepaskan hormon-hormon yang sama seperti ketika kita bahagia karena diri sendiri, tapi dengan efek yang lebih dalam. Kita tidak hanya merasa senang, tetapi merasa berarti.
Kebahagiaan empatik membuat kita damai, karena bukan didorong oleh keinginan untuk diakui, melainkan oleh kerinduan untuk terhubung. Ia bukan tentang “aku bahagia”, tapi “kita bahagia.”
Membedakan Dua Sumber Bahagia
Aspek Kebahagiaan Egoistik Kebahagiaan Empatik
Fokus Diri sendiri Keterhubungan dengan orang lain
Sumber rasa senang Mendapatkan, diakui, memiliki Memberi, memahami, terhubung
Dampak batin Gembira tapi mudah hilang Damai dan bertahan lama
Hasilnya Kepuasan sesaat Makna hidup yang mendalam
Mengalir dari Egoistik Menuju Empatik
Menariknya, kebahagiaan egoistik tidak harus dihapuskan. Ia bisa menjadi titik awal menuju kebahagiaan empatik. Ketika kita belajar mencintai diri sendiri dengan sehat, bukan untuk pamer, tetapi agar bisa memberi lebih banyak, maka kebahagiaan pribadi itu mengalir menjadi berkat.
Misalnya, orang yang merasa cukup dalam dirinya akan lebih mudah berempati, karena ia tidak sibuk membandingkan atau membuktikan diri.
Dari sinilah transformasi kebahagiaan sejati dimulai: dari “aku cukup” menjadi “aku ingin membuat orang lain merasa cukup juga.”
Penutup: Bahagia yang Menghidupkan
“Kebahagiaan egoistik membuat kita bersinar sesaat. Kebahagiaan empatik membuat kita menjadi terang bagi orang lain.”
Dalam hidup, kita mungkin bergantian mengalami keduanya. Namun, saat kita mulai menyadari bahwa kebahagiaan sejati tumbuh dari kasih dan keterhubungan, hati akan menemukan kedamaian yang tak tergoyahkan oleh perubahan dunia. Itulah bahagia yang tidak sekadar dirasakan, tapi dihidupi.
Reviewed by Admin Brinovmarinav
on
21.03
Rating:

Tidak ada komentar: