Bertahun-tahun kita akrab dengan istilah “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.” Ungkapan yang terdengar indah ini begitu melekat dalam budaya pendidikan Indonesia. Namun seiring waktu, banyak orang mulai menyadari bahwa istilah itu bukan hanya tidak lagi relevan, tetapi justru menjadi pisau bermata dua bagi guru, sebuah gelar mulia yang membuat mereka tampak terhormat, tetapi sekaligus menutupi realitas keras yang mereka hadapi setiap hari.
Narasi ini pada dasarnya muncul untuk memuliakan guru. Ia lahir dari pengakuan bahwa guru berperan besar dalam mencerdaskan bangsa, membentuk karakter anak-anak, dan menuntun arah masa depan. Namun, narasi yang awalnya positif ini justru berkembang menjadi romantisasi profesi guru. Itu sebabnya banyak permasalahan struktural yang menimpa guru akhirnya tidak terlihat atau dianggap bukan prioritas, karena pahlawan seolah-olah “tidak perlu” menuntut kesejahteraan.
Narasi yang Menjadi Bumerang
Ketika guru disebut pahlawan, masyarakat sering menempatkan mereka dalam posisi sangat luhur secara moral. Guru dianggap rela berkorban, tulus bekerja, dan tidak mengharapkan balasan apa pun. Padahal, guru bukan pekerja sukarela. Mereka memiliki kebutuhan hidup, keluarga yang harus dinafkahi, dan tanggung jawab profesional yang seharusnya dihargai secara adil.
Celakanya, narasi ini lama-kelamaan menjadi bumerang. Alih-alih memicu perhatian serius terhadap nasib guru, ungkapan tersebut justru menjadi cara halus untuk membungkam perjuangan mereka ketika menuntut hak yang seharusnya. Ketika guru menyuarakan keluhan, banyak yang menilainya tidak pantas: “Masa pahlawan mengeluh soal gaji?”
Inilah bentuk tekanan moral yang secara tidak sadar dibebankan kepada para pendidik.
Tuntutan Moral Tanpa Dukungan Nyata
Ironisnya, di balik sanjungan pahlawan, guru harus menanggung tuntutan besar yang tidak seimbang dengan perlindungan dan fasilitas yang mereka terima.
Guru diharapkan mengubah perilaku siswa, membimbing karakter, memotivasi belajar, menanamkan nilai moral, hingga menahan tekanan dari orang tua murid. Namun, ketika terjadi konflik, guru sering berada di posisi yang paling lemah.
Beberapa tahun terakhir muncul kasus-kasus yang menunjukkan guru mudah dipolisikan hanya karena menegur siswa, memberi hukuman ringan, atau berselisih dengan orang tua murid. Guru menjadi sasaran kritik masyarakat dan media tanpa diberi kesempatan membela diri secara proporsional. Dalam kondisi ini, peran pahlawan justru menjadi beban tambahan: guru harus tetap “sabar, bijak, dan tidak boleh salah,” seolah manusiawi tidak lagi berlaku bagi mereka.
Pahlawan yang Diharapkan Bertahan Tanpa Tanda Jasa NyataSebutan “tanpa tanda jasa” sebenarnya menjadi akar masalah yang lebih besar. Di atas kertas, guru adalah fondasi pendidikan. Tetapi dalam praktiknya, penghargaan terhadap profesi ini sering berhenti pada kata-kata manis. “Tanda jasa” bukan sekadar medali, tetapi:
Jaminan kehidupan layak,
Perlindungan hukum,
Gaji yang manusiawi,
Pelatihan yang memadai,
Lingkungan kerja yang aman,
Dan kebijakan yang berpihak pada pendidik.
Tanpa itu semua, gelar pahlawan hanya menjadi pujian hampa.
Pada titik ini banyak guru, terutama guru honorer, hidup dalam ketidakpastian. Mereka digaji jauh di bawah UMR, bekerja penuh waktu, tetapi tidak mendapatkan jaminan sosial layak. Tidak ada pahlawan yang seharusnya diperlakukan seperti ini.
Narasi yang Menjauhkan Masalah Struktural
Ketika masyarakat terlalu larut dalam memuliakan guru secara emosional, fokus terhadap akar persoalan menjadi kabur. Narasi pahlawan tanpa tanda jasa membuat kita lupa bahwa persoalan pendidikan tidak bisa diselesaikan dengan pujian. Dibutuhkan kebijakan konkret, reformasi kesejahteraan, dan perlindungan hukum yang adil.
Romantisasi profesi guru juga menciptakan ilusi bahwa pekerjaan mereka adalah panggilan suci, bukan profesi yang harus dihargai secara profesional. Padahal jika profesi lain seperti dokter, perawat, atau polisi tidak pernah dipaksa menjadi “tanpa tanda jasa,” mengapa guru harus menerima standar berbeda?
Saatnya Mengoreksi Cara Kita Melihat Guru
Jika guru tetap disebut pahlawan, maka negara dan masyarakat harus memaknai kata itu dengan benar. Pahlawan berarti mereka yang berjasa besar, dan karena itu mereka berhak mendapat penghargaan setimpal. Pahlawan bukan orang yang hidup dalam ketidakpastian. Pahlawan bukan mereka yang dibiarkan berjuang sendiri tanpa perlindungan.
Mengubah narasi tidak berarti mengurangi hormat pada guru. Justru sebaliknya, kita menempatkan hormat itu pada langkah nyata, bukan sekadar pujian kosong.
Pendidikan yang maju hanya mungkin hadir jika gurunya sejahtera dan dihargai secara nyata. Dan itu hanya dapat terwujud jika kita berhenti memandang guru sebagai pahlawan yang harus berkorban, dan mulai melihat mereka sebagai profesional yang layak diperjuangkan hak-haknya.
Reviewed by Admin Brinovmarinav
on
18.04
Rating:

Tidak ada komentar: