Iman, AI, dan Masa Depan Manusia: Ketika Algoritma Mengetahui Kita Lebih Baik dari Diri Kita Sendiri
Mempertanyakan Iman di Tengah Perkembangan Tekhnologi AI
Di zaman ini, pertanyaan tentang masa depan kita manusia ini tidak lagi dimulai dari ranah filsafat atau teologi yang selama ini temukan, melainkan dari teknologi yang berkembang melebihi perkiraan sebelumnya. Jadi, bukan lagi siapa kita ini sebenarnya, melainkan seberapa akurat kita bisa diprediksi.
Sekali-kali kalau Anda sudah terbiasa dengan AI, cobalah tanya, sikat, sikap dan kebiasaan kita sehari-hari? Dan coba perhatikan, jawaban-jawabannya pasti akan mengagetkan kita. Akurasi, dan jawaban yang diberikan bisa memprediksi dengan brilian.
Ya, kecerdasan buatan (AI) Artificial Intelligence tidak sekadar membantu manusia bekerja lebih cepat dari sebelumnya. Tapi tekhnologi itu bisa melakukan banyak hal dan bahkan mengenai pola emosi, memprediksi keputusan dan bahkan menyarankan pilihan hidup untuk kita.
Dan di titik inilah iman kembali seperti dipertanyakan, jika algoritma mengetahui kita lebih baik dari diri kita sendiri, masihkah kita makhluk bermakna, atau sekadar sistem yang kompleks?
Ketika Manusia Tidak Lagi Menjadi Subjek Utama
Dalam banyak narasi teknologi, manusia secara perlahan bergeser dalam berbagai hal. Mari kita telisik beberapa hal berikut ini ketika AI menjadi bagian hidup kita:
• Dalam pengambil keputusan
• Bahkan menjadi objek optimasi
Pilihan hidup dinilai, lebih efisien, lebih rasional, lebih terukur, sehingga tekhlogi seakan-akan menjadi jawaban dari semua persoalan dari makhluk bernama manusia. Nah, pertanyaan lanjutannya adalah, kalau demikian bagaimana dengan iman, dengan beragam keberadaan dan latar belakangnya?
Yah, iman, apa pun tradisinya, selalu memulai dari asumsi berbeda, yaitu manusia bukan sekadar makhluk rasional, manusia tetapi makhluk bermakna.
Di dalam iman, manusia:
• bisa memilih yang tidak efisien demi kasih
• bisa berkorban tanpa keuntungan
• bisa setia meski tidak masuk akal secara statistik
Hal-hal ini tidak irasional, tetapi trans-rasional, melampaui logika kalkulasi.
AI Mengubah Dunia, Tapi Tidak Mengerti “Mengapa”
AI sangat kuat dalam menjawab berbagai pertanyaan berikut:
• bagaimana
• berapa
• seberapa besar kemungkinan
Namun yang tidak pernah sungguh menjawab oleh AI adalah, mengapa sesuatu layak diperjuangkan. Makna tidak lahir dari data, melainkan dari relasi, penderitaan, harapan, dan janji.
Dan di sinilah iman tidak sedang bersaing dengan AI, tapi ia berada di ranah yang berbeda.
Ketakutan Lama dalam Wajah Baru
Awalnya AI disambut gegap gempita yang benar-benar mengerti kehebatan dan keunggulannya. Bahkan orang tidak segan mengandalkan sebagai pahlawan yang bisa menolong dirinya dengan berbagai solusi yang ditawarkan. Tapi sebagian orang beriman takut AI, jangan-jangan ia akan menggantikan Tuhan, jangan-jangan ia akan mereduksi manusia, atau malah ia akan menghancurkan nilai moral
Namun ketakutan ini sebenarnya bukan hal baru. Setiap zaman memiliki “berhala”-nya sendiri, yaitu kekuasaan, uang, ideologi dan kini: data dan algoritma
Masalahnya bukan pada AI, tetapi pada kecenderungan manusia menyerahkan makna hidupnya kepada apa pun yang tampak berkuasa.
Harari dan Krisis Makna Manusia
Dalam karya-karyanya, Yuval Noah Harari sering memperingatkan bahwa manusia bisa menjadi spesies yang tidak lagi relevan ketika AI dan bioteknologi berkembang pesat. Namun justru di sinilah pertanyaan iman menjadi sangat tajam. Apa itu?
Jika nilai manusia ditentukan oleh kegunaan, maka siapa pun yang tidak efisien akan tersingkir. Iman, khususnya iman yang berakar pada Kitab Suci, sebenarnya menawarkan klaim radikal. Ya, manusia bernilai bukan karena fungsinya, tetapi karena ia dikehendaki dan dipanggil.
Ia bukan argumen teknologi, melainkan pernyataan ontologis tentang martabat manusia.
Masa Depan Manusia: Data atau Panggilan?
Jika masa depan manusia hanya ditentukan oleh tersedianya data, prediksi dan optimasi maka manusia mungkin akan hidup dengan nyaman, tetapi tetap saja akan hampa.
Namun jika manusia tetap dipahami sebagai makhluk yang dipanggil, penuh akan tanggung jawab, serta mampu berkata “tidak” pada sistem, maka teknologi akan tetap menjadi alat, bukan tuan yang akan terus diikuti.
Penutup: Iman di Zaman Algoritma
Akhirnya AI mungkin akan semakin pintar, Algoritma mungkin semakin akurat. Tetapi iman mengingatkan satu hal sederhana ini, manusia tidak pernah diciptakan hanya untuk diketahui, melainkan untuk mengasihi dan dikasihi.
Dan selama pertanyaan tentang makna, penderitaan, dan harapan masih ada, maka iman tidak akan tersingkir oleh teknologi, tapi malah ia justru akan semakin relevan. Jadi, pertanyaan akhirnya adalah, bisakah iman berjalan bersama tekhnologi?
Reviewed by Admin Brinovmarinav
on
22.09
Rating:

Tidak ada komentar: