Pada 27 November, Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) akan diadakan di berbagai kota di Indonesia untuk memilih pemimpin daerah, gubernur, bupati, dan wali kota beserta wakil-wakil mereka. Namun, perlu diwaspadai potensi ketegangan pasca-pengumuman hasil Pilkada.
Pilkada 2024, yang juga merupakan hari libur nasional, dapat menjadi titik klimaks di mana, setelah tahapan kampanye, terjadi banyak insiden yang meningkatkan ketegangan karena perbedaan pilihan politik.
Selama periode kampanye hingga penantian pelaksanaan Pilkada, berbagai aktivitas telah memicu argumen, debat, tantangan, serangan verbal, hingga ejekan. Proses dan pengalaman ini dapat meningkatkan rasa penasaran dan menimbulkan kegembiraan dalam menantikan pelaksanaannya.
Dengan kemudahan akses media sosial, ruang untuk perdebatan antar pendukung semakin luas. Energi dan pikiran banyak tercurah dalam dukungan timbal balik. Perdebatan tidak hanya terjadi secara offline yang mudah disaksikan, namun juga online, di mana kita sebagai pengikut ikut serta.
Apalagi jika masyarakat merespons secara serius setiap tokoh yang didukung, menganggapnya sebagai pertarungan hidup atau mati, dan melupakan bahwa Pilkada adalah peristiwa yang berulang. Tidak perlu terlalu bersedih hati dalam mendukung pasangan calon yang dianggap ideal. Sebaiknya, kita membiarkan Pilkada berlangsung dengan lancar, di mana hasilnya, sebagai pilihan mayoritas rakyat, menjadi keputusan yang diterima bersama.
Refleksi terhadap Pemilu Presiden Amerika Serikat yang menarik perhatian para peneliti mengenai dampaknya pada gangguan mental, mengindikasikan adanya ketegangan dalam politik Amerika Serikat. Ketegangan ini terutama terlihat sejak Donald Trump mengumumkan pencalonannya dan kemudian terpilih sebagai presiden. Selama kampanye, banyak warga Amerika yang dilaporkan mengalami stres, dan sepertinya kondisi ini masih berlangsung.
American Psychological Association (APA) pernah meneliti tentang Pemilihan Presiden AS tahun 2016 yang mengungkapkan bahwa 57% warga AS merasa stres akibat hasil pemilu. Studi tahunan mengenai stres di Amerika, yang melibatkan 1.019 orang dewasa dari kedua pendukung partai Republik dan Demokrat, menemukan bahwa 72% pendukung Demokrat mengalami stres berat dari hasil pemilu. Sementara itu, 26% pendukung Republik merasakan stres yang serupa. Lebih lanjut, dua pertiga populasi AS merasa stres dan khawatir tentang masa depan negara mereka terkait dengan situasi politik yang berlangsung.
Kathleen Gildea, seorang psikoterapis dari Atlanta yang tidak terlibat dalam penelitian ini, menyatakan bahwa semakin banyak orang Amerika yang merasa cemas tentang masa depan negara mereka. Kecemasan ini telah menyebabkan peningkatan jumlah orang yang mengalami setidaknya satu gangguan kesehatan akibat stres, dari 71 persen pada Agustus 2016 menjadi 80 persen pada Januari 2017.
Gangguan kesehatan ini dapat termasuk sakit kepala, kecemasan, dan insomnia. Di Indonesia, dihadapkan dengan fenomena yang serupa, para ahli kesehatan menyarankan untuk membatasi waktu membaca berita atau menggunakan media sosial yang sering kali penuh dengan perdebatan politik yang intens. Mereka juga menyarankan untuk memelihara kualitas tidur, mengikuti diet yang seimbang, dan berolahraga secara teratur sebagai metode untuk mengurangi stres.
Di Indonesia, perlu diwaspadai bahwa selama kampanye dan pelaksanaan Pilkada, masyarakat mungkin terlalu serius menghadapinya. Ini terjadi meskipun kita baru saja menyelesaikan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang kompetisinya sangat ketat. Sekarang, dengan Pilkada dan kampanye yang mendahuluinya, ada kemungkinan masyarakat akan mengalami dampak serupa dengan pemilih di AS, di mana perbedaan pilihan telah berdampak signifikan.
Jadi, setelah 27 November merupakan waktu yang harus diwaspadai, jangan sampai kita stres karena berbeda dukungan dengan yang lain, tanpa mengerti kenapa konflik karena beda pilihan itu terjadi?
Tidak ada komentar: