Kebahagiaan Menurut OSHO dan Stoik. Kesamaannya Teletak Pada Perspektif Asal Kebahagiaan itu Sendiri
Dalam dunia yang riuh dan serba cepat, kebahagiaan sering terasa seperti sesuatu yang harus dikejar. Kita mencari di luar: kepunyaan, lewat pencapaian, pengakuan, harta, bahkan relasi. Namun, dua pendekatan besar yaitu OSHO dari Timur dan filsafat Stoik dari Barat, justru memberi pesan yang berseberangan: kebahagiaan tidak perlu dicari, karena ia sudah ada di dalam diri.
OSHO: Bahagia adalah Keadaan Alami
OSHO mengajarkan bahwa kebahagiaan bukanlah hasil, melainkan cara berada. Ia tidak datang dari luar, tapi muncul ketika kita berhenti mengejar, berhenti membandingkan, dan mulai hadir dalam kesadaran penuh. Baginya, anak kecil adalah cermin dari kebahagiaan sejati: tertawa tanpa alasan, menangis tanpa malu, hidup sepenuhnya dalam momen. Tapi seiring bertumbuh, kita diajari untuk menjadi “baik” sesuai standar luar, dan di situlah kebahagiaan kita mulai terdistorsi.
OSHO menekankan keaslian diri. Bahwa ekspresi emosi, meditasi, dan pelepasan dari ego adalah jalan pulang menuju kebahagiaan. “Don’t seek, just relax,” katanya. Dalam keheningan batin, kita tidak lagi membutuhkan dunia untuk mengonfirmasi bahwa kita bahagia. Kita hanya tinggal menyadarinya.
Stoik: Bahagia adalah Hidup Sesuai Kebajikan
Dari sisi lain, filsuf Stoik seperti Marcus Aurelius dan Epictetus percaya bahwa kebahagiaan datang ketika kita hidup selaras dengan akal dan kebajikan. Dunia luar tidak dapat kita kendalikan, tetapi penilaian kita terhadapnya bisa. Kita boleh kehilangan harta, teman, bahkan kesehatan, tetapi tetap bahagia selama kita bertindak dengan bijak, berani, dan adil.
Stoik menekankan pengendalian diri dan ketenangan dalam menghadapi gejolak hidup. Bukan dengan menolak emosi, tetapi dengan menilai apakah emosi itu membantu hidup yang baik. Kita tidak perlu marah pada hujan, karena hujan tetap akan turun. Yang penting adalah sikap batin kita terhadapnya.
Pertemuan Timur dan BaratOSHO dan Stoik, meskipun dari latar berbeda, menyatu dalam satu pesan: kebahagiaan sejati tidak berasal dari luar. Bedanya, OSHO mengajak kita masuk lewat keheningan dan meditasi, sementara Stoik lewat refleksi dan logika. Tapi keduanya mengajarkan hal yang sama: selama kita belum berdamai dengan dalam diri, dunia luar tak akan pernah cukup.
Mungkin inilah saatnya berhenti sejenak. Menyadari bahwa kebahagiaan bukan soal memiliki, melainkan soal mengalami. Bukan tentang menaklukkan dunia, tapi tentang hadir sepenuhnya di dalamnya—dengan kesadaran, kejujuran, dan keheningan.
Ada kemiripan antara konsep kebahagiaan menurut OSHO dan filsafat Stoik, terutama dalam hal bahwa kebahagiaan bergantung pada cara kita menilai dan merespons dari dalam, bukan pada keadaan di luar. Namun, keduanya punya landasan dan nuansa yang berbeda. Berikut perbandingannya:
Kemiripan
1. Fokus pada batin, bukan eksternal
OSHO: Kebahagiaan adalah keadaan alami yang muncul dari kesadaran dan penerimaan.
Stoik: Kebahagiaan datang dari kebajikan dan kendali atas respons kita, bukan dari dunia luar.
2. Penguasaan diri
OSHO: Lewat meditasi dan kesadaran, kita melepaskan ilusi ego dan tekanan sosial.
Stoik: Melalui logika dan latihan moral, kita mengendalikan emosi yang merusak dan memilih respons rasional.

Tidak ada komentar: