Kebahagiaan Sejati Menurut Nietzsche: Bukan Karena Fasilitas yang Wah, Tapi dari Keberanian untuk Hidup
Hampir setiap detik, kita disuguhi dengan iklan kebahagiaan. Segelas kopi saja ditawarkan dengan janji kebahagiaan, spa mahal, diskon besar-besaran semuanya digambarkan sebagai jalan tercepat menuju hidup yang bahagia. Konsumsi bukan sekadar kegiatan ekonomi semata, tapi telah menjelma menjadi ritus modern yang seolah menjanjikan pemenuhan jiwa. Tapi benarkah kebahagiaan bisa dibeli, atau lebih tajamnya lagi, pantaskah kebahagiaan dikejar?
Friedrich Wilhelm Nietzsche, filsuf Jerman yang lebih dikenal karena menggugat Tuhan dan moralitas, mungkin akan tersenyum sinis melihat masyarakat kita hari ini. Dalam The Gay Science, ia menulis:
“The secret of the greatest fruitfulness and the greatest enjoyment of existence is: to live dangerously!”
Nietzsche punya konsep tentang kebahagiaan, tapi sangat berbeda dari pandangan yang umum saat ini. Ia tidak melihat kebahagiaan sebagai tujuan utama hidup, melainkan sebagai konsekuensi dari menjalani hidup dengan penuh kekuatan, keberanian, dan keaslian.
Kebahagiaan bukanlah kenyamanan atau kesenangan, Nietzsche mengkritik moralitas "budak" yang menurutnya menghargai keamanan, kenyamanan, dan kesederhanaan. Baginya, kebahagiaan bukanlah hidup tanpa penderitaan, tetapi kemampuan untuk mengatasi penderitaan dan menjadikannya bagian dari pertumbuhan diri.
Namun, masyarakat konsumtif hari ini menawarkan ilusi sebaliknya: bahwa kebahagiaan adalah soal memiliki, bukan menjadi. Kita tidak diajarkan untuk tumbuh atau mengatasi tantangan, tapi untuk terus mengisi kekosongan batin dengan produk, layanan, dan pengakuan. Ini bukan hanya menyedihkan, ini menjebak.
Nietzsche menyebut kondisi ini sebagai bentuk dekadensi, kemerosotan nilai hidup. Ia tidak berbicara tentang keruntuhan moral dalam pengertian religius, tapi tentang manusia yang berhenti menjadi kuat. Ketika manusia lebih memilih rasa aman dan kepuasan sesaat daripada proses pertumbuhan yang menyakitkan, ia kehilangan potensi tertingginya.
“He who has a why to live for can bear almost any how.” (Twilight of the Idols)
Pertanyaannya: apakah budaya konsumtif kita hari ini memberi kita “why” alasan hidup yang mendalam atau hanya mengalihkan kita dari “how” yang tak nyaman? Apakah kita sungguh hidup, atau sekadar menghindari rasa sepi?
Kita hidup dalam budaya yang membenci penderitaan. Bahkan sedikit rasa bosan dianggap masalah yang harus segera diselesaikan dengan scrolling, belanja, atau binge-watching. Tapi Nietzsche menantang kita untuk mengubah sudut pandang: bukan menghindari penderitaan, melainkan menafsirkannya ulang sebagai bagian penting dari pembentukan diri.
Inilah inti dari konsep Amor Fati, mencintai takdir. Ia menulis:
“My formula for greatness in a human being is amor fati: that one wants nothing to be different… not merely bear what is necessary, still less conceal it…but love it.”
Ini adalah salah satu konsep penting dalam filsafat Nietzsche. Ia menganjurkan agar kita mencintai segala sesuatu yang terjadi, bahkan penderitaan atau tragedi, sebagai bagian dari kehidupan yang penuh dan otentik. Dalam menerima dan mencintai takdir kita, di sanalah Nietzsche melihat kemungkinan munculnya kebahagiaan sejati.
Bagi Nietzsche, inti dari kehidupan adalah dorongan untuk tumbuh, mencipta, dan mengatasi diri. Kebahagiaan sejati datang dari proses ini, dari pencapaian diri yang terus-menerus, bukan dari keadaan pasif atau puas.
Maka pertanyaan yang patut kita ajukan bukanlah “apa yang bisa membuatku bahagia?” Tapi “hidup macam apa yang layak dijalani, meski penuh risiko?” Karena kebahagiaan yang sejati bagi Nietzsche, tidak pernah datang sebagai produk, ia datang sebagai akibat dari keberanian untuk hidup secara utuh.
Jadi lain kali saat iklan berkata, “ini akan membuatmu bahagia,” mungkin kita bisa menjawab seperti Nietzsche:
“Aku tidak tertarik bahagia. Aku tertarik hidup sepenuhya"

Tidak ada komentar: