Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai paradoks: orang yang sangat taat beragama, justru kadang terlihat lebih mudah menghakimi, bahkan menunjukkan sikap intoleran terhadap yang berbeda keyakinan. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah semakin religius seseorang, maka ia akan semakin tidak toleran?
Psikologi agama memberikan jawaban yang menarik dan tidak hitam-putih. Para ahli menunjukkan bahwa agama itu ambivalen: bisa menjadi kekuatan kasih dan kedamaian, atau sebaliknya, alat pembenaran untuk konflik dan diskriminasi—semua bergantung pada bagaimana seseorang menjalani agamanya.
Dua Jenis Orientasi Keagamaan: Allport dan Intoleransi
Psikolog Gordon Allport membagi orientasi beragama ke dalam dua tipe besar:
1. Ekstrinsik (Extrinsic Religious Orientation)
Seseorang menjalani agama karena manfaat sosial: status, kenyamanan, komunitas, atau bahkan kekuasaan. Dalam tipe ini, agama digunakan, bukan dihayati. Penelitian Allport menunjukkan bahwa orang dengan orientasi ekstrinsik cenderung lebih intoleran, karena agama dijadikan alat pembenaran terhadap kelompok lain yang berbeda.
2. Intrinsik (Intrinsic Religious Orientation)
Seseorang menjalani agama karena keyakinan yang mendalam dan tulus. Ia tidak memakai agama sebagai alat, melainkan sebagai nilai hidup. Menariknya, orang dengan orientasi ini lebih rendah tingkat intoleransinya, karena mereka sungguh-sungguh menghargai ajaran kasih, pengampunan, dan penghormatan terhadap sesama manusia.
Orientasi “Quest”: Jalan Menuju Toleransi
Teori ini dilanjutkan oleh Batson dan kawan-kawan dengan mengenalkan orientasi ketiga:
Quest Orientation
Tipe ini ditandai oleh sikap terbuka, reflektif, dan bersedia terus mencari kebenaran. Orang dengan orientasi quest tidak takut bertanya, mengakui keterbatasan dirinya, dan memandang perbedaan sebagai peluang belajar, bukan ancaman. Mereka cenderung paling tinggi dalam toleransi antariman dan empati lintas budaya.
Agama sebagai Identitas Sosial: Sumber Kekuatan atau Pemisah?
Dari perspektif psikologi sosial, agama juga bisa menjadi identitas kelompok (ingroup). Bila identitas ini disakralkan secara eksklusif, maka muncullah pola kami vs mereka, yang membuka jalan pada stereotip, prasangka, bahkan kekerasan.
Dalam konteks ini, agama bukan penyebab konflik, tetapi pembungkus identitas yang digunakan dalam perebutan kekuasaan, dominasi budaya, atau respon terhadap ketakutan.
Neurosains: Ketika Keyakinan Bertemu Emosi
Studi neuroscience menunjukkan bahwa keyakinan agama mengaktifkan bagian otak yang memicu rasa nyaman dan benar. Namun, ketika keyakinan itu digabungkan dengan rasa takut atau ancaman, maka area otak yang mengatur reaksi emosional (amygdala) menjadi dominan. Inilah mengapa sebagian orang bisa bereaksi keras atau ekstrem ketika merasa “agamanya diserang.”
Kesimpulan: Agama Tidak Menyebabkan Intoleransi, Tapi Manusia Bisa
Dari semua sudut pandang psikologi agama di atas, bisa ditarik kesimpulan:
Orang yang religius tidak otomatis intoleran.
Tingkat toleransi tergantung pada orientasi beragama: apakah ekstrinsik, intrinsik, atau quest.
Konflik atas nama agama lebih sering berakar pada identitas sosial dan politik, bukan ajaran agama itu sendiri.
Oleh karena itu, tantangan kita hari ini adalah mendorong praktik keagamaan yang matang, reflektif, dan terbuka. Kesungguhan beragama yang didasarkan pada cinta kasih, pencarian makna, dan penghargaan terhadap sesama justru menjadi benteng terbaik melawan intoleransi.
Jika Anda tertarik membagikan artikel ini, bisa ditambahkan infografis tentang tiga orientasi religius, atau kutipan dari tokoh agama yang menyerukan toleransi lintas iman.

Tidak ada komentar: