Ketika Guru Harus Sempurna: Beban Moral yang Tidak Seimbang dengan Perlindungan Hukum (2 Dari 3 Artikel untuk Hari Guru)
Ungkapan “guru adalah teladan” sudah menjadi bagian dari kehidupan sosial kita sejak lama. Bukan hanya teladan dalam mengajar, tetapi juga dalam hal kesabaran, kebaikan, penampilan, tutur kata, hingga keputusan pribadi. Guru dituntut untuk menjadi figur moral yang sempurna, seolah tidak boleh berbuat salah sedikit pun. Namun, di balik ekspektasi besar itu, ada kenyataan pahit yang sering luput dari perhatian: guru justru berada dalam posisi paling rentan ketika terjadi masalah di ruang kelas.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak kasus menunjukkan bagaimana guru dapat dengan mudah dipolisikan hanya karena langkah disiplin sederhana—seperti menegur siswa, menetapkan aturan kelas, atau memberi sanksi ringan. Di era ketika orang tua semakin sensitif, sekolah semakin kompetitif, dan media sosial begitu cepat menyebarkan cerita, guru menjadi aktor yang paling mudah disalahkan.
Ekspektasi Tanpa Batas yang Membebani Guru
Cara masyarakat memandang guru seringkali tidak realistis. Guru dianggap harus: Selalu sabar meskipun menghadapi puluhan siswa dengan karakter berbeda, tidak boleh membentak atau tegas berlebihan, mampu mengontrol semua perilaku siswa, mampu menyelesaikan masalah keluarga siswanya, tidak boleh melakukan kesalahan, bahkan yang bersifat manusiawi.
Ekspektasi ini memunculkan “beban moral” yang berat. Guru tidak hanya bekerja sebagai pendidik, tetapi juga sebagai psikolog, konselor, figur orang tua, dan sekaligus model kesempurnaan. Ketika mereka gagal memenuhi satu saja dari identitas tersebut, masyarakat begitu cepat bereaksi negatif.
Padahal, guru juga manusia. Mereka punya keterbatasan, punya tekanan pribadi, dan bekerja dalam sistem sekolah yang seringkali tidak ideal. Namun sistem sosial kita jarang memberi ruang bagi guru untuk menjadi manusia. Mereka tidak boleh marah, tidak boleh lelah, tidak boleh tegas secara spontan, bahkan tidak boleh salah dalam menilai situasi.
Ketika Tindakan Disiplin Berujung Kriminalisasi
Salah satu masalah terbesar adalah mudahnya tindakan guru dianggap sebagai pelanggaran hukum. Ada beberapa contoh umum:
1. Guru menegur siswa yang membuat keributan, orang tua merasa tidak terima.
2. Guru memberi hukuman berdiri, dianggap sebagai kekerasan.
3. Guru menyita HP saat jam pelajaran, dipermasalahkan orang tua.
4. Guru berinisiatif meminta iuran untuk memenuhi kebutuhan kelas, kemudian diproses hukum karena melanggar aturan sekolah.
Fenomena ini muncul karena tidak ada batas tegas yang disepakati masyarakat tentang ruang otoritas guru. Padahal, tindakan disiplin adalah bagian dari pendidikan. Tanpa batas, sekolah menjadi arena di mana guru harus selalu berhati-hati, bukan karena ingin mendidik dengan benar, tetapi takut dilaporkan.
Sementara itu, banyak sekolah tidak menyediakan SOP yang jelas tentang tindakan disiplin yang diperbolehkan. Guru akhirnya berada di wilayah abu-abu: jika terlalu lembut, dianggap tidak tegas; jika sedikit keras, dianggap melanggar.
Perlindungan Hukum yang Tidak Berjalan Efektif
Secara formal, pemerintah telah mengeluarkan peraturan perlindungan guru. Namun implementasinya masih jauh dari harapan. Ketika kasus terjadi, guru sering menghadapi: pendampingan hukum yang lambat, sekolah yang cenderung menjaga citra dengan menjauhkan diri dari guru, media sosial yang lebih cepat menghakimi daripada mendengarkan, orang tua yang cenderung memihak anak, bukan mencari kebenaran, aparat hukum yang jarang melihat konteks pendidikan sebelum bertindak.
Akibatnya, guru merasa selalu bekerja dalam ketakutan. Banyak guru akhirnya memilih “aman” dan meminimalkan tindakan disiplin. Tetapi konsekuensinya adalah kualitas pendidikan moral dan karakter siswa menurun karena guru tidak punya otoritas yang jelas.
Guru Jadi Kambing Hitam atas Masalah Sosial yang Lebih Luas
Ketika terjadi masalah pada seorang siswa, entah perilaku buruk, nilai turun, atau kurang motivasi, guru sering menjadi pihak pertama yang disalahkan. Padahal pendidikan anak adalah kerja bersama: orang tua, masyarakat, dan sekolah. Namun guru sering menjadi sasaran empuk kritik publik.
Di sinilah terlihat betapa tidak seimbangnya hubungan antara tuntutan dan perlindungan. Guru wajib sempurna, tetapi ketika terluka, mereka harus berjuang sendiri.
Saatnya Menyadari Bahwa Guru Butuh Perlindungan Nyata
Jika kita benar-benar menghargai profesi guru, maka perlindungan hukum harus: jelas, tegas, dan tidak hanya di atas kertas, memastikan guru mendapat pendampingan cepat saat terjadi masalah, memberi batasan jelas mengenai kewenangan tindakan disiplin, melibatkan orang tua dalam pemahaman mengenai aturan sekolah, menghindarkan guru menjadi korban kriminalisasi saat menjalankan tugas.
Guru bukan hanya teladan moral, tetapi manusia yang sedang berusaha mendidik generasi baru. Mereka berhak mendapat ruang aman untuk bekerja, tanpa rasa takut dikriminalisasi atau dipermalukan publik.
Ketika beban moral tinggi tidak disertai perlindungan nyata, guru tidak akan mampu menjalankan tugasnya secara optimal. Dan jika guru melemah, masa depan pendidikan pun ikut melemah.
Reviewed by Admin Brinovmarinav
on
15.55
Rating:

Tidak ada komentar: