Bertemu dengan mereka yang menjalani hukuman karena kesalahan masa lalu di mana mereka akhirnya bisa bebas, maka berbagai harapan dan hidup harus dijalani oleh mereka. Tentu tidak semua mereka yang pernah jatuh ingin tetap tinggal dalam kejatuhannya. Tidak sedikit mereka yang sungguh-sungguh menyesal, ada pula yang berjuang ingin memulai hidup baru setelah dibebaskan.
Memang di berbagai lembaga pemasyarakatan disediakan berbagai kegiatan yang sifatnya pembekalan kepada setiap narapidana dengan berbagai keterampilan. bersyukur bila hal itu bisa diterapkan setelah mereka bebas. Namun yang lebih penting lagi adalah bagaimana menumbuhkan kembali rasa percaya diri mereka dalam menghadapi masyarakat setelah keluar dari penjara.
Walaupun harud diakui kita sering mendengar berita mereka yang baru sepuluh hari tapi sudah kembali kepada habitat lamanya yaitu melakukan kejahatan yang sama yang sebenarnya membawa mereka ke penjara. Jadi sebagian di antaranya masih membawa kebiasaan lama. Perlu juga adanya pendampingan Karena ternyata mendampingi mantan narapidana bukan hanya soal kasih dan empati, tetapi juga soal batas dan kebijaksanaan.
Antara Harapan dan Kecurigaan
Stigma dari masyarakat terhadap mereka yang pernah menjadi narapidana sangat nyata. Dicap sebagai mantan napi berarti harus berjuang dua kali lebih keras untuk mendapatkan pekerjaan, diterima dalam lingkungan sosial, atau bahkan hanya sekadar dipercaya.
Namun di sisi lain, ketika ada pengalaman negatif dari sebagian mereka—yang masih hidup dengan pola lama—kita pun mulai mengerti mengapa masyarakat sering kali bersikap curiga. Ini adalah dilema moral yang tidak mudah.
Pertanyaannya:
Apakah salah memberi kepercayaan?
Apakah mereka tidak bisa berubah?
Atau… apakah kasih belum cukup matang untuk menyikapi kegagalan mereka?
Kasih yang Dewasa: Menerima Tanpa Membiarkan Diri Disakiti
Kasih sejati bukan hanya memeluk, tetapi juga mendidik. Ada kalanya memberi berarti berkata “cukup”. Ada kalanya menerima berarti menjaga jarak agar tidak terus dimanipulasi. Ini bukan sikap keras hati, tapi bentuk kasih yang sadar bahwa perubahan bukan tanggung jawab kita sepenuhnya—ada bagian yang hanya bisa diputuskan oleh mereka sendiri.
Mereka yang sungguh-sungguh ingin berubah, akan menunjukkan tanda-tandanya: kejujuran, kerendahan hati, dan kesediaan untuk belajar dari kesalahan. Untuk mereka, kita harus hadir dan mendukung. Tapi untuk mereka yang belum siap, kita pun perlu tahu kapan harus melepaskan, tanpa kehilangan doa dan harapan bagi mereka.
Menjadi Jembatan, Bukan Penyembuh Tunggal
Harus kita sadari, bahwa kita bukan penyelamat. Kita hanya bisa menjadi jembatan kecil bagi mereka yang mau menyeberang menuju hidup baru. Tidak semua akan menyeberang. Tidak semua akan memanfaatkan kesempatan. Tapi, satu orang yang sungguh-sungguh bertobat dan kembali ke masyarakat dengan hidup baru—itu layak diperjuangkan.
Penutup: Memaafkan, Mendampingi, Membatasi
Tiga hal yang penting dipelajari:
1. Memaafkan mereka yang pernah menyakiti, karena kita semua pernah gagal.
2. Mendampingi mereka yang sungguh-sungguh ingin berubah, karena semua orang berhak atas kesempatan kedua.
3. Membatasi diri dari relasi yang tidak sehat, karena kita juga harus menjaga ketulusan kita tetap murni.
Jika kasih adalah jalan, maka kebijaksanaan adalah tongkat untuk menuntun kita berjalan dengan teguh. Semoga lebih banyak hati yang mau membuka diri bukan hanya untuk memberi, tapi juga untuk memahami bahwa perubahan adalah proses panjang, dan kadang—penuh luka.

Tidak ada komentar: