Dari Cicero ke Zaman Kita
Marcus Tullius Cicero, negarawan dan filsuf Romawi kuno, pernah mengalami masa di mana republik runtuh dan kekuasaan terpusat pada seorang diktator. Dalam situasi itu, ia memilih menulis filsafat, etika, dan hukum. Bagi Cicero, tulisan bukanlah pelarian, melainkan senjata intelektual untuk menjaga rakyat tetap kritis dan membela semangat republik.
Ia menulis dalam Tusculanae Disputationes:
“Filosofi adalah guru kehidupan, cahaya kebenaran, dan obat bagi jiwa.”
Refleksi ini penting kita renungkan. Sebab dalam setiap zaman, termasuk sekarang, ketika negara menghadapi gejolak moral, politik, atau hukum, kaum terdidik tidak boleh memilih diam.
Tanggung Jawab Kaum Terdidik
Pendidikan sejatinya bukan sekadar akumulasi pengetahuan, tetapi pembentukan nalar dan keberanian moral. Cicero percaya bahwa mereka yang berpendidikan memikul beban yang lebih besar: mengajarkan, membimbing, dan memberi arah ketika publik kehilangan kompas.
Dalam De Officiis (Tentang Kewajiban), ia menulis:
“Tidak ada yang lebih mulia, tidak ada yang lebih pantas bagi seorang manusia, selain mengabdikan dirinya demi kepentingan publik.”
Dalam konteks modern, kaum terdidik tidak hanya terbatas pada politisi atau pejabat. Dunia kampus, para akademisi, mahasiswa, dan para pendidik memiliki peran strategis. Mereka bisa:
• Menyuarakan kebenaran ketika kebijakan negara tidak berpihak pada rakyat.
• Mengedukasi masyarakat agar tidak mudah terjebak manipulasi informasi.
• Menjadi penyeimbang agar kekuasaan tidak terjerumus menjadi tirani.
Suara Kampus sebagai Hati Nurani Bangsa
Kampus dan dunia pendidikan sering disebut sebagai “menara air”, bukan “menara gading”. Artinya, ilmu yang lahir di sana harus mengalir ke masyarakat, menyuburkan keberanian untuk mengoreksi dan memperbaiki kehidupan publik.
Di sinilah letak relevansi pesan Cicero: jangan biarkan pendidikan menjadi pasif. Bila kaum terdidik hanya sibuk dengan dunia akademiknya tanpa peduli pada realitas bangsa, maka mereka sedang mengabaikan tanggung jawab sejarah.
Dalam De Republica, Cicero menegaskan:
“Kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi.” (Salus populi suprema lex esto)
Kutipan ini adalah penanda jelas bahwa pendidikan, kebijakan, dan tindakan publik seharusnya berpihak pada rakyat, bukan pada kepentingan kekuasaan semata.
Mengedukasi, Bukan Menggurui
Namun, suara kaum terdidik tidak cukup hanya menyalahkan. Lebih penting adalah mendidik masyarakat: membuka ruang dialog, memberikan literasi politik, hukum, dan moral, serta memberdayakan warga agar tidak takut menyuarakan kebenaran.
Kritik yang sehat tidak sekadar menuding kesalahan, melainkan menawarkan jalan keluar. Inilah yang membedakan suara kaum intelektual dengan sekadar amarah massa.
Kesimpulan: Jangan Diam
Seperti Cicero, kaum terdidik masa kini dipanggil untuk mengubah ilmu menjadi tindakan moral. Dalam situasi bangsa yang bergolak, diam bukanlah pilihan. Suara kebenaran harus terus disuarakan, baik melalui tulisan, penelitian, pengajaran, maupun aksi nyata di masyarakat.
Cicero pernah berkata dalam De Officiis:
“Kita tidak dilahirkan untuk diri kita sendiri; sebagian besar hidup kita diperuntukkan bagi negara dan sahabat-sahabat kita.”
Itulah panggilan moral bagi kaum terdidik. Karena pada akhirnya, republik—atau negara mana pun—hanya bisa bertahan bila warganya kritis, berani, dan tidak takut mengoreksi kekuasaan. Dan tugas itu, mau tidak mau, pertama-tama jatuh di pundak mereka yang terdidik.

Tidak ada komentar: