Pendahuluan
Ungkapan “hakim adalah wakil Tuhan” bukan hanya sebuah simbol religius, tetapi juga amanat moral yang amat berat. Setelah membahas sejarah gagasan ini serta bahaya ketika hakim berkhianat pada kebenaran, kini pertanyaan terpenting adalah: bagaimana seorang hakim modern bisa menjaga diri agar tetap layak menyandang sebutan tersebut?
Jawabannya terletak pada kombinasi nilai etika, integritas pribadi, dan sistem peradilan yang transparan.
Hakim sebagai Penjaga Nurani dan Hukum
Hakim ideal bukan sekadar “mesin undang-undang” yang memutus berdasarkan teks, melainkan penjaga nurani masyarakat. Sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles, hukum sejati harus selaras dengan keadilan. Di era modern, itu berarti:
• Putusan harus mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat, bukan sekadar formalitas hukum.
• Hakim perlu hadir sebagai figur yang dipercaya publik, bukan ditakuti karena kekuasaan.
Nilai-Nilai Religius dan Filosofis sebagai Kompas Moral
Hakim yang ingin tetap menjadi wakil Tuhan harus menginternalisasi nilai-nilai luhur:
1. Takut kepada Tuhan atau kebenaran universal → mencegah lahirnya kesewenang-wenangan.
2. Adil kepada semua pihak → tidak memandang status sosial, ekonomi, atau politik.
3. Menjaga amanah → menolak suap, kolusi, dan nepotisme.
Dalam perspektif Plato, hanya hakim yang mencintai kebenaran yang layak memimpin. Dalam Islam, hanya hakim yang memutus sesuai hukum Allah dengan hati yang bersih yang akan “di surga.”
Tantangan Hakim di Era Modern
Menjadi hakim hari ini tidak lebih mudah dibanding masa lalu. Tantangannya justru semakin besar:
• Tekanan politik dan ekonomi → godaan untuk berpihak pada kepentingan tertentu.
• Sorotan publik dan media → putusan hakim kini mudah diakses, diperdebatkan, dan dikritisi.
• Globalisasi hukum → hakim harus menyeimbangkan nilai lokal, nasional, dan internasional.
Maka, integritas hakim tidak bisa hanya bergantung pada individu, melainkan juga sistem yang mendukung transparansi dan akuntabilitas.
Langkah Konkret untuk Menjadi Hakim yang Layak
1. Integritas pribadi: menolak gratifikasi sekecil apa pun, karena sedikit kompromi bisa meruntuhkan kewibawaan.
2. Pendidikan berkelanjutan: memahami perkembangan hukum, HAM, dan filsafat keadilan agar putusan selalu relevan.
3. Keterbukaan: memastikan putusan dapat dipahami publik dengan bahasa yang jelas dan logika yang sehat.
4. Kontrol kelembagaan: membangun mekanisme pengawasan internal dan eksternal yang mencegah penyalahgunaan wewenang.
5. Kesadaran spiritual: menyadari bahwa setiap putusan adalah amanah yang kelak dipertanggungjawabkan, baik di hadapan masyarakat maupun di hadapan Tuhan.
Refleksi untuk Indonesia
Di Indonesia, kasus korupsi yang menjerat aparat hukum kerap membuat publik pesimis. Namun masih banyak hakim yang menjaga integritas, bekerja dalam diam, dan berupaya menghadirkan rasa keadilan. Merekalah teladan nyata “wakil Tuhan” di zaman ini.
Maka, menjaga martabat hakim berarti juga menjaga martabat hukum dan kepercayaan rakyat. Tanpa itu, demokrasi hanyalah formalitas.
Kesimpulan
Seorang hakim modern hanya bisa layak disebut wakil Tuhan jika ia memadukan:
• Integritas pribadi yang kokoh,
• Kesetiaan pada nilai keadilan universal, dan
• Komitmen pada transparansi sistem hukum.
Pada akhirnya, hakim yang benar-benar adil menghadirkan “kehadiran Tuhan” di ruang sidang—bukan dengan kata-kata, tetapi dengan putusan yang menyalakan harapan dan rasa keadilan bagi semua orang.
BACA JUGA:
Hakim adalah Wakil Tuhan: Sejarah, Filsafat, dan Relevansinya di Masa Kini

Tidak ada komentar: