Pendahuluan
Ungkapan “hakim adalah wakil Tuhan” sarat makna luhur. Namun, apa jadinya jika seorang hakim justru tidak takut kepada Tuhan atau kebenaran? Sejarah mencatat bahwa korupsi, nepotisme, atau suap yang dilakukan hakim dianggap sebagai kejahatan moral paling berat, sebab bukan hanya melukai pihak yang berperkara, tetapi juga merusak wibawa hukum itu sendiri.
Pertanyaan ini sudah lama menjadi bahan refleksi para filsuf, agamawan, hingga pemikir hukum klasik.
Peringatan dari Tradisi Keagamaan
• Yahudi-Kristen: Kitab Ulangan 16:19 menegaskan, “Janganlah menerima suap, sebab suap membutakan mata orang bijak.” Hakim yang korup dianggap menentang langsung perintah Tuhan.
• Islam: Hadis Nabi menegaskan bahwa dua dari tiga hakim akan masuk neraka—yaitu hakim yang tidak tahu kebenaran tetapi tetap memutus, dan hakim yang tahu kebenaran tetapi sengaja menyelewengkannya. Pesan ini menggarisbawahi betapa berat tanggung jawab moral seorang hakim.
Kritik Para Filsuf Yunani
• Plato: Dalam Republik, ia khawatir penguasa dan hakim lebih mengejar keuntungan pribadi daripada keadilan. Hakim seperti ini hanyalah “budak nafsu,” bukan penjaga kebenaran.
• Aristoteles: Menyebut hakim curang sebagai perusak polis (kota). Ketidakadilan yang dilakukan hakim lebih berbahaya daripada kriminal biasa, karena ia menghancurkan fondasi kepercayaan pada hukum.
Pemikiran Romawi dan Skolastik
• Cicero: Menganggap hakim yang menerima suap tidak hanya melukai korban, tetapi juga mencederai hukum itu sendiri. Bagi Cicero, keadilan tanpa integritas hakim hanyalah ilusi.
• Thomas Aquinas: Menyebut hukum yang dihasilkan hakim curang sebagai lex iniusta—hukum tidak adil yang sejatinya bukan hukum, melainkan bentuk kekerasan terselubung.
Islam Klasik: Legitimasi Hakim Adil
• Al-Mawardi: Menegaskan bahwa hakim harus memenuhi syarat adil, amanah, dan berilmu. Jika ia menerima suap, legitimasinya gugur.
• Ibn Khaldun: Menulis bahwa rusaknya hakim adalah tanda awal kehancuran peradaban. Ketika masyarakat tidak percaya lagi pada keadilan, maka fondasi negara akan runtuh.
Refleksi untuk Indonesia
Di Indonesia, sering kita dengar ungkapan “hakim adalah wakil Tuhan”. Namun kasus-kasus suap dan kolusi di pengadilan membuat publik bertanya: apakah mereka masih pantas disebut demikian?
Hakim yang berkhianat pada kebenaran bukan lagi wakil Tuhan, melainkan pengkhianat mandat suci. Bahaya ini lebih besar daripada kejahatan biasa, karena:
1. Merusak legitimasi hukum.
2. Menghancurkan kepercayaan publik.
3. Menjadikan keadilan sekadar komoditas yang bisa dibeli.
Kesimpulan
Sejak zaman Yunani Kuno hingga Islam klasik, para pemikir sudah memperingatkan: hakim yang tidak adil adalah ancaman terbesar bagi hukum dan masyarakat. Ia mungkin disebut “wakil Tuhan”, tetapi tanpa takut pada Tuhan dan kebenaran, ia hanyalah tiran kecil berseragam hukum.
Maka, ungkapan hakim adalah wakil Tuhan sebaiknya selalu diingat sebagai beban moral: bahwa setiap putusan hakim seharusnya menghadirkan cahaya kebenaran, bukan gelapnya kepentingan pribadi.

Tidak ada komentar: