<!-- SEO Blogger Start --> <meta content='text/html; charset=UTF-8' http-equiv='Content-Type'/> <meta content='blogger' name='generator'/> <link href='https://www.makkellar.com/favicon.ico' rel='icon' type='image/x-icon'/> <link href='https://www.makkellar.com/2025/10/takdir-menurut-stoisisme-antara.html' rel='canonical'/> <link rel="alternate" type="application/atom+xml" title="Menjadi Perantara Menuju Jalan Sejahtera - Atom" href="https://www.makkellar.com/feeds/posts/default" /> <link rel="alternate" type="application/rss+xml" title="Menjadi Perantara Menuju Jalan Sejahtera - RSS" href="https://www.makkellar.com/feeds/posts/default?alt=rss" /> <link rel="service.post" type="application/atom+xml" title="Menjadi Perantara Menuju Jalan Sejahtera - Atom" href="https://www.blogger.com/feeds/2646944499045113697/posts/default" /> <link rel="alternate" type="application/atom+xml" title="Menjadi Perantara Menuju Jalan Sejahtera - Atom" href="https://www.makkellar.com/feeds/5056886627859260249/comments/default" /> <!--Can't find substitution for tag [blog.ieCssRetrofitLinks]--> <link href='https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhSaQjfBhr3_PiPz9Etl6bzvgS7TZ68tKglJgsz_Fs9ds3iBepfUzYrr4gMaGKgq014w6JTDs3d1DGa_qBpXXbdLPBc8ugldOCc0imJfLY5CA596IfMiDV1k9Csg3fCI4Bcje2A75nnqxX7VXgCTJll3yE8OKPFIXK19CygwOGQCQNDkf7Aiz2kYTnbd7o/w241-h241/Takdir%20Menurut%20Aliran%20ini.jpg' rel='image_src'/> <meta content='Artikel reflektif tentang bagaimana Stoisisme memandang takdir dan tanggung jawab manusia, agar kita tidak menjadikan “takdir” sebagai alasan' name='description'/> <meta content='https://www.makkellar.com/2025/10/takdir-menurut-stoisisme-antara.html' property='og:url'/> <meta content='Takdir Menurut Stoisisme: Antara Keteraturan Alam dan Tanggung Jawab Manusia' property='og:title'/> <meta content='Artikel reflektif tentang bagaimana Stoisisme memandang takdir dan tanggung jawab manusia, agar kita tidak menjadikan “takdir” sebagai alasan' property='og:description'/> <meta content='https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhSaQjfBhr3_PiPz9Etl6bzvgS7TZ68tKglJgsz_Fs9ds3iBepfUzYrr4gMaGKgq014w6JTDs3d1DGa_qBpXXbdLPBc8ugldOCc0imJfLY5CA596IfMiDV1k9Csg3fCI4Bcje2A75nnqxX7VXgCTJll3yE8OKPFIXK19CygwOGQCQNDkf7Aiz2kYTnbd7o/w1200-h630-p-k-no-nu/Takdir%20Menurut%20Aliran%20ini.jpg' property='og:image'/> <!-- Title --> <title> Bukan makelar tapi Menjadi peranta untuk kebaikan bersama Takdir Menurut Stoisisme: Antara Keteraturan Alam dan Tanggung Jawab Manusia - Menjadi Perantara Menuju Jalan Sejahtera Takdir Menurut Stoisisme: Antara Keteraturan Alam dan Tanggung Jawab Manusia - Menjadi Perantara Menuju Jalan Sejahtera

Takdir Menurut Stoisisme: Antara Keteraturan Alam dan Tanggung Jawab Manusia


Ketika Takdir Jadi Tempat Bersembunyi

Setiap kali terjadi kecelakaan, kebakaran, atau bencana akibat kelalaian manusia, kita sering mendengar kalimat, “Ya, mungkin sudah takdirnya.”

Ucapan itu tampak menenangkan, tetapi sesungguhnya bisa menjadi jalan pintas untuk menyingkirkan rasa tanggung jawab. Dalam konteks refleksi moral, “takdir” sering dijadikan benteng untuk berlindung dari kesalahan sendiri.

Namun, apakah Stoisisme, ajaran filsafat yang menekankan ketenangan dan rasionalitas—mengajarkan hal semacam itu?

Stoik justru berpandangan sebaliknya.

Bagi mereka, takdir bukan alasan untuk menyerah atau menyalahkan semesta, melainkan cara untuk memahami keteraturan alam yang tidak bisa kita ubah, sembari mengakui peran kita di dalamnya.

Takdir dalam Pandangan Stoik: Alam yang Rasional

Filsuf-filsuf Stoik seperti Zeno, Chrysippus, Epictetus, dan Marcus Aurelius percaya bahwa alam semesta diatur oleh Logos, prinsip rasional dan ilahi yang menenun segala sebab dan akibat dengan sempurna.

Setiap peristiwa, sekecil apa pun, merupakan bagian dari tatanan alam yang rasional, bukan kebetulan buta. Dalam Meditations (4.26), Marcus Aurelius menulis:

“Segala sesuatu yang terjadi padamu telah ditakdirkan untukmu sejak awal waktu. Jaring sebab-akibat menenun segala hal dengan presisi.”

Namun, penting ditekankan bahwa tatanan ini tidak berarti manusia hanyalah boneka tanpa kehendak.

Stoisisme memisahkan antara apa yang berada di luar kendali kita dan apa yang berada dalam kendali kita. Yang tidak bisa kita kendalikan adalah peristiwa eksternal: cuaca, waktu, dan keputusan orang lain. Tapi yang bisa kita kendalikan adalah penilaian, kehendak, dan tindakan moral kita sendiri. Di sinilah kebebasan sejati manusia berada.

Keteledoran Bukan Takdir, Tapi Pilihan

Ketika seseorang mengemudi dengan lalai, menggunakan ponsel, lalu menabrak orang di jalan, peristiwa itu memang bagian dari rantai sebab-akibat. Tapi sebab utamanya adalah kehendak manusia yang salah arah, bukan “takdir” yang turun dari langit.

Dalam pandangan Stoik, keteledoran adalah cacat dalam nalar, karena manusia diciptakan untuk berpikir rasional.

Ketika nalar dikalahkan oleh kebiasaan, emosi, atau rasa malas, maka yang lahir adalah kelalaian—dan kelalaian membawa akibatnya sendiri.

Epictetus pernah menegaskan:

“Hal-hal tidak menghancurkan kita, tetapi opini kita tentang hal-hal itulah yang menghancurkan kita.”

Artinya, bukan dunia yang bersalah ketika bencana terjadi akibat kelalaian.

Kita sendirilah yang memilih untuk bertindak tidak hati-hati, untuk tidak belajar, atau untuk mengabaikan tanggung jawab.

Maka, menyebutnya “takdir” bukanlah bentuk kebijaksanaan, melainkan penyangkalan terhadap rasionalitas kita sendiri.

Antara Penerimaan dan Tanggung Jawab

Stoisisme memang mengajarkan penerimaan—amor fati, cinta pada takdir. Tapi penerimaan Stoik tidak berarti pasrah tanpa daya.

Amor fati berarti menerima kenyataan yang telah terjadi tanpa menyalahkan dunia, sekaligus berkomitmen untuk memperbaiki diri agar kesalahan serupa tidak terulang.

Marcus Aurelius menulis dalam Meditations (4.49):

“Jika ini bukan kesalahanmu, jangan mengeluh. Jika ini kesalahanmu, perbaikilah. Dunia akan tetap berjalan sebagaimana mestinya.”

Kalimat ini mengandung keseimbangan indah antara dua hal:

1. Penerimaan kosmik: bahwa segala peristiwa ada dalam tatanan alam yang rasional.

2. Tanggung jawab moral: bahwa pilihan dan sikap manusia tetap menentukan nilai perbuatannya.

Stoik ingin kita belajar dari peristiwa yang terjadi, bukan bersembunyi di baliknya.

Refleksi untuk Zaman Ini

Di tengah dunia modern yang serba kompleks, konsep takdir sering disalahpahami sebagai pembenaran atas ketidakpedulian.

Kita menyalahkan takdir ketika sistem transportasi buruk, ketika lingkungan rusak karena kelalaian, atau ketika kecelakaan terjadi karena abai pada keselamatan.

Padahal, jika mengikuti cara berpikir Stoik, takdir adalah ruang belajar, bukan tempat melarikan diri.

Kita tidak bisa mengubah yang sudah terjadi, tapi kita bisa mengubah cara berpikir dan bertindak ke depan.

Manusia yang benar-benar bijak bukanlah yang menyerah pada nasib, melainkan yang menyadari perannya dalam tatanan semesta dan menunaikan tanggung jawabnya dengan sadar.

Penutup

Stoisisme mengajarkan kita untuk menerima dunia sebagaimana adanya, tapi tidak pernah mengajarkan kita untuk menutup mata terhadap kesalahan sendiri.

Ketenangan batin yang diajarkan oleh Stoik bukan ketenangan orang pasrah, melainkan ketenangan orang yang berani menghadapi realitas dengan jujur—termasuk ketika realitas itu menunjukkan bahwa kitalah penyebabnya.

Jadi, ketika musibah terjadi, mungkin bukan “takdir” yang harus pertama-tama kita ucapkan, melainkan pertanyaan:

“Apakah aku sudah menggunakan akalku dengan benar?”

Karena di situlah letak kebebasan sejati manusia: bukan di luar peristiwa, melainkan di dalam cara kita memilih untuk menanggapinya.

Takdir Menurut Stoisisme: Antara Keteraturan Alam dan Tanggung Jawab Manusia Takdir Menurut Stoisisme: Antara Keteraturan Alam dan Tanggung Jawab Manusia Reviewed by Admin Brinovmarinav on 14.45 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.