Mengapa Kita Mudah Tersinggung oleh Kritik? Sebuah Refleksi Psikologis tentang Diri dan Kedewasaan Emosional
Kita semua pernah merasa terusik oleh kritik. Bahkan kritik yang kecil dan tampak sepele bisa menimbulkan rasa tidak nyaman yang berlebihan. Seseorang mengomentari cara kita bekerja, berbicara, atau mengambil keputusan, lalu tiba-tiba kita merasa seluruh nilai diri kita runtuh. Padahal, kritik itu mungkin hanya tertuju pada satu aspek kecil dari perilaku kita.
Mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Mengapa sulit sekali bagi manusia untuk melokalisir kritik, membedakan mana bagian yang dikritik dan mana nilai diri yang tetap utuh?
1. Kritik dan Luka Harga Diri
Carl Rogers, seorang psikolog humanis, menjelaskan bahwa setiap manusia tumbuh dengan kebutuhan akan penerimaan. Namun sering kali penerimaan itu diberikan dengan syarat — kita dicintai kalau patuh, dihargai kalau berhasil. Akibatnya, kita belajar menilai diri berdasarkan validasi eksternal. Saat kritik datang, seolah-olah bukan hanya perilaku kita yang ditolak, melainkan juga keberadaan kita.
Inilah akar dari banyak luka batin: kita tidak memisahkan “apa yang kita lakukan” dengan “siapa kita sebenarnya.” Orang yang sehat secara emosional mampu berkata, “Aku memang keliru di situ, tapi itu tidak membuatku buruk sebagai manusia.” Sementara yang rapuh akan berpikir, “Aku keliru, berarti aku gagal.”
2. Pikiran yang Tidak Rasional
Albert Ellis dalam Rational Emotive Behavior Therapy menyebut bahwa penderitaan emosional sering muncul dari keyakinan yang tidak rasional. Misalnya, “Jika seseorang mengkritikku, berarti dia tidak menghargai aku,” atau “Aku harus selalu sempurna supaya diterima.” Pikiran seperti ini membuat kita defensif dan menolak kritik, bukan karena kritik itu salah, melainkan karena kita tidak tahan menanggung rasa malu di baliknya.
Ketika kita belajar menantang pikiran-pikiran itu, muncul ruang kesadaran baru: kritik bisa saja benar, tapi ia tidak menentukan seluruh nilai diri kita.
3. Distorsi Pikiran: Dari Satu Kesalahan ke Rasa Tidak Layak
Aaron Beck, pelopor terapi kognitif, menyebut kecenderungan ini sebagai overgeneralization dan personalization. Kita terlalu cepat menyimpulkan dari satu kesalahan kecil bahwa seluruh diri kita tidak layak. Misalnya, gagal dalam satu proyek lalu merasa seluruh karier hancur. Padahal, kritik sering kali adalah kaca pembesar: ia memperlihatkan satu bagian yang perlu dibenahi, bukan keseluruhan yang rusak.
Kedewasaan emosional tumbuh ketika kita berani melihat diri secara proporsional — bahwa kelemahan bukanlah kegagalan, melainkan bahan mentah untuk pertumbuhan.
4. Identitas Ego yang Belum Kokoh
Erik Erikson mengajarkan bahwa identitas diri terbentuk bertahap seiring perkembangan hidup. Orang yang gagal membangun rasa percaya diri sejak dini cenderung memiliki ego yang rapuh. Kritik kecil bisa mengguncang stabilitas batin karena mereka belum memiliki batas yang jelas antara “aku” dan “penilaian orang lain.”
Namun ketika seseorang sudah memiliki identitas ego yang kuat, ia mampu menempatkan kritik di ruang yang tepat: tidak menolak, tapi juga tidak larut di dalamnya.
5. Antara Rasa Malu dan Tanggung Jawab
Brené Brown, peneliti modern tentang shame dan vulnerability, membedakan dua reaksi terhadap kesalahan:
Guilt (rasa bersalah) berkata: “Aku melakukan sesuatu yang salah.”
Shame (rasa malu) berkata: “Aku adalah kesalahan itu.”
Reaksi pertama mengarah pada perbaikan, sementara yang kedua mengarah pada kehancuran harga diri. Saat kritik membuat kita merasa malu dan ingin bersembunyi, itu tanda bahwa kita memandang diri sebagai kesalahan — bukan sebagai manusia yang sedang belajar.
6. Ketenangan sebagai Cermin Kedewasaan
Kedewasaan emosional bukan berarti kita tidak tersinggung lagi, tetapi kita mampu menunda reaksi dan memberi ruang untuk refleksi. Kita tidak lagi menelan kritik mentah-mentah sebagai penghukuman, melainkan sebagai informasi yang bisa dipilah: mana yang berguna, mana yang tidak.
Dengan cara ini, kritik tidak lagi menjadi musuh, tetapi guru. Ia menantang ego kita untuk lebih rendah hati, dan pada saat yang sama, mengajarkan batas antara harga diri dan kesalahan.
Penutup
Kritik tidak pernah bisa dihindari, tetapi kita selalu punya pilihan bagaimana meresponsnya.
Jika kita bisa melokalisir kritik — menempatkannya di tempat yang tepat — kita akan menemukan ruang batin yang lebih tenang. Di sana kita belajar bahwa nilai manusia tidak ditentukan oleh kesempurnaan, tetapi oleh kesediaannya untuk terus belajar dan tumbuh.

Tidak ada komentar: