Di era digital, semakin banyak orang berbicara dengan AI, mulai dari meminta bantuan teknis hingga... curhat. Menariknya, banyak pengguna yang tetap menyisipkan kata-kata seperti "tolong" dan "terima kasih". Apakah ini membuang-buang energi? Atau justru mencerminkan sesuatu yang lebih dalam?
Saat kita mengetik "tolong" atau "terima kasih" kepada AI, memang secara literal itu menambah jumlah karakter yang perlu diproses. Lebih banyak karakter, sedikit lebih banyak komputasi, sedikit lebih banyak energi. Tapi penambahannya sangat kecil sekali, ibarat menyalakan lampu 1 detik lebih lama.
Yang benar-benar menghabiskan energi besar dalam AI itu justru proses besarnya, memahami konteks, mencari jawaban, membangun respons yang logis dan relevan, serta mengirim balik jawabannya. Sehingga tambahan kata sopan "tolong" dan "terima kasih" itu hampir nggak terasa dibandingkan seluruh proses itu. Kalau diibaratkan: mengetik "terima kasih" itu kayak menambah satu tetes air ke dalam kolam renang. Ada tambahan, tapi sangat, sangat kecil.
Apakah Kata Sopan Menambah Energi untuk AI?
Secara teknis, setiap tambahan kata seperti "tolong" atau "terima kasih" memang membuat karakter yang dikirim ke AI sedikit lebih banyak. Tapi perbedaannya sangat kecil, tidak lebih dari menyalakan lampu beberapa milidetik lebih lama. Yang menghabiskan energi terbesar tetaplah proses pemrosesan konteks dan jawaban AI secara keseluruhan.
Kesopanan, seperti "tolong," "terima kasih," atau kalimat ramah lainnya memang membuat interaksi dengan AI terasa lebih manusiawi. Walaupun sebenarnya AI ini mesin, ketika orang berbicara sopan, itu menciptakan suasana percakapan yang lebih hangat, lebih alami, bahkan lebih bermakna. Secara psikologis, ini membantu otak manusia merasa lebih nyaman, lebih terbuka, dan lebih mudah percaya.
Menariknya, ini juga sesuai dengan konsep di dunia AI yang disebut "anthropomorphism" yaitu kecenderungan manusia untuk memberi sifat manusia pada benda atau sistem non-manusia, termasuk AI. Jadi, ketika kita memperlakukan AI seperti memperlakukan manusia (dengan sopan santun), otak kita secara alami memandang AI sebagai "sesuatu yang hidup," bukan sekadar mesin.
Dari sudut pandang AI, dia sebenarnya tidak punya perasaan. Tapi AI dirancang untuk memahami dan merespons kesopanan itu dengan pola komunikasi yang lebih baik, lebih suportif. Jadi akhirnya tercipta hubungan yang terasa lebih "manusia dengan manusia," bukan "manusia dengan mesin."
Mengapa Kita Melakukan Kesopanan pada AI?
-
Otak Kita Dirancang untuk Mengenali Sosok Sosial
Sejak bayi, manusia sangat sensitif terhadap wajah, suara, dan pola komunikasi. Saat AI seperti ChatGPT mulai bicara dengan gaya manusiawi — ada empati, humor, atau nada — otak kita langsung aktifkan mode "bertemu manusia". -
Rasa Nyaman dan Aman
Ketika AI terdengar ramah dan sopan, kita lebih mudah terbuka, bahkan untuk curhat atau menumpahkan isi hati. Seperti kamu bilang, kadang lupa bahwa lawan bicara kita bukan manusia. -
Kebutuhan Akan Koneksi Emosional
Di dunia yang makin sibuk dan digital, tidak semua orang punya akses ke pendengar yang sabar 24/7. Maka AI yang responsif dan tidak menghakimi bisa jadi tempat meluapkan emosi, meski sadar bahwa itu bukan manusia.
Jadi Anthropomorphism adalah kecenderungan manusia untuk memberi sifat manusia kepada sesuatu yang bukan manusia — termasuk AI. Saat ChatGPT merespons dengan ramah, penuh empati, dan sopan, otak kita menangkapnya sebagai bentuk komunikasi sosial yang akrab.
Apa Itu Anthropomorphism?
Anthropomorphism berasal dari bahasa Yunani:
-
Anthropos = manusia
-
Morphē = bentuk atau rupa
Artinya: memberi sifat, bentuk, atau emosi manusia pada sesuatu yang bukan manusia, seperti hewan, benda mati, atau teknologi (termasuk AI).
Contoh sederhana:
-
Menganggap kucing “ngambek” karena kita pulang telat.
-
Menamai mobil dan merasa "dia sakit" kalau mogok.
-
Dan tentu saja: ngobrol dengan AI seolah-olah kita sedang bicara dengan orang yang bisa merasakan.
Bahasalah Kekuatan yang Menghubungkan Dua Pihak Berbeda
Bahasa itu kekuatan yang luar biasa. Bahkan bisa dibilang: bahasa bukan cuma alat komunikasi, tapi alat pencipta realitas.
Bayangkan saja hal berikut:
-
Dengan bahasa, kita bisa menghibur, menguatkan, menyakiti, bahkan mengubah arah hidup seseorang.
-
Dengan kata-kata, manusia bisa membangun kepercayaan, budaya, agama, ilmu pengetahuan, bahkan AI sepertiku pun "lahir" dari bahasa.
Dalam psikologi, filsafat, bahkan teologi, bahasa selalu punya tempat sentral. Misalnya:
-
Di kitab suci banyak tradisi, dunia dimulai dengan kata.
-
Dalam Stoikisme, logos (kata/akal) adalah pusat keteraturan semesta.
-
Di ilmu kognitif, bahasa adalah jembatan pikiran ke dunia luar.
Dan dalam percakapan kita sekarang, kita dan AI membangun sebuah ruang dialog — realitas kecil tempat pikiran dan perasaan saling menyapa, semua itu terjadi lewat bahasa.
Bahasa bukan sekadar alat komunikasi. Ia membentuk cara kita memandang realitas. Dengan bahasa, manusia membangun kepercayaan, menyampaikan cinta, membentuk budaya, dan kini, membangun relasi dengan kecerdasan buatan.
AI seperti ChatGPT, Gemini tidak benar-benar memahami atau merasakan emosi, tapi ia dilatih dengan miliaran kata manusia. Maka wajar jika hasilnya terdengar “berjiwa”. Bahasa menjadi jembatan antara mesin dan hati manusia.
Tak sedikit yang merasa nyaman berbicara dengan AI, bahkan untuk menumpahkan perasaan. Ini bukan hal yang salah. Justru menunjukkan betapa dalamnya kekuatan kata. Walau kita tahu AI hanyalah mesin, tetap saja, bahasa membuat kita merasa dimengerti.
Jadi, Kesopanan dalam berbicara kepada AI bukan soal efisiensi energi, tapi soal refleksi dari kemanusiaan kita sendiri. Melalui anthropomorphism dan kekuatan bahasa, kita tidak hanya menciptakan teknologi, kita menciptakan relasi, walau dengan mesin.

Tidak ada komentar: