Kisah dalam Alkitab tentang Paulus berdebat dengan para filsuf Stoa di Areopagus (Kisah Para Rasul 17) sering dikutip sebagai bukti adanya konfrontasi awal antara Kekristenan dan Stoikisme. Sehingga bagi sebagian orang Kristen memandang filsafat termasuk Stoik menjadi wilayah tersendiri yang seharusnya tidak dicampuradukkan.
Paulus berinteraksi dengan para filsuf dari golongan Epikurean dan Stoa di Areopagus, Athena. Dalam kisah itu, para filsuf Stoa dan Epikurean tampaknya skeptis terhadap ajaran Paulus, terutama soal kebangkitan orang mati. Ini membuat mereka mengejek atau menanggapinya dengan rasa ingin tahu secara dangkal.
Dalam suratnya kepada jemaat Kolose 2:8 Paulus menyebut jangan tertawan dengan filsafat yang kosong. Namun, seiring waktu, hubungan kedua aliran ini berkembang, tidak lagi sekadar pertentangan, tetapi juga menyentuh wilayah pengaruh dan dialog etis yang mendalam.
Stoikisme dan Kekristenan Awal: Titik Ketegangan
Filsafat Stoa mengajarkan hidup selaras dengan alam (logos), menekankan pengendalian diri, dan pencapaian ketenangan batin sebagai tujuan hidup. Pandangan ini bertabrakan dengan ajaran Kristen awal yang menekankan keselamatan melalui iman kepada Kristus dan kebangkitan tubuh, konsep yang ditolak oleh para filsuf Stoa.
Paulus sendiri ditanggapi dengan skeptisisme ketika menyampaikan pesan kebangkitan. Namun menariknya, ia juga menggunakan kutipan penyair Yunani yang dekat dengan Stoikisme, menunjukkan upaya menjembatani pemahaman.
Warisan Stoik dalam Dunia Kristen Modern
Hari ini, kebangkitan minat pada Stoikisme modern beririsan dengan praktik Kristen kontemporer yang menekankan kesadaran diri, manajemen emosi, dan ketahanan mental. Namun, penting dicatat bahwa motivasi Kristen tetap berakar pada kasih karunia dan relasi dengan Tuhan yang personal, bukan hanya pengendalian diri manusiawi.
1. Renungan Harian & Pemeriksaan Diri
Dalam Stoikisme, ada praktik harian yang sangat mirip dengan renungan dalam Kekristenan, yaitu:
Refleksi pagi: mempersiapkan mental untuk menghadapi tantangan hidup dengan sikap bijak. Refleksi malam: merenungkan kembali tindakan, pikiran, dan keputusan hari itu.
Ini paralel dengan “examen” dalam tradisi Ignatian (Katolik) atau renungan pagi dan malam yang umum dalam banyak tradisi Protestan. Tujuannya sama: pembentukan karakter melalui kesadaran diri dan keterbukaan terhadap pembaruan.
2. Kedisiplinan & Askese
Para filsuf Stoa seperti Seneca atau Epictetus mengajarkan pentingnya disiplin diri, pengendalian hawa nafsu, dan hidup sederhana. Nilai-nilai ini sangat berpengaruh dalam monastisisme Kristen:
Puasa dan pengendalian diri (askese), Hidup teratur dan terarah pada hal-hal rohani, Penolakan terhadap kenikmatan duniawi yang berlebihan.
Para rahib dan biarawan awal, seperti St. Antonius Agung atau Benedictus dari Nursia, mempraktikkan kedisiplinan ekstrem sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah, dan itu secara etis sejajar dengan Stoikisme, walau motivasinya berbeda.
3. Ketabahan dalam Penderitaan
Stoikisme mengajarkan untuk menerima penderitaan dengan tenang, sebagai bagian dari tatanan alam. Kekristenan menambahkan unsur iman dan pengharapan dalam penderitaan, namun tetap mengangkat nilai ketabahan (endurance) sebagai buah Roh.
Tokoh Kristen seperti Paulus sering menulis tentang sukacita dalam penderitaan (misalnya Roma 5:3-5), yang secara nada sangat dekat dengan semangat Stoik.
4. Tujuan Etis: Kebajikan
Baik Stoikisme maupun Kekristenan menekankan pembentukan karakter. Dalam Stoikisme, ini berupa kebajikan seperti kebijaksanaan, keberanian, keadilan, dan pengendalian diri. Dalam Kekristenan, buah Roh (Galatia 5:22-23) mencerminkan kualitas moral yang serupa, tetapi dilihat sebagai hasil karya Roh Kudus, bukan sekadar hasil latihan diri.
Meski berawal dari konflik, nilai-nilai Stoik tentang kedisiplinan, refleksi diri, dan kebajikan menemukan tempat dalam spiritualitas Kristen, khususnya dalam praktik harian dan formasi karakter. Menyatukan keduanya membutuhkan kepekaan terhadap perbedaan dasar teologis, namun membuka ruang kaya untuk pertumbuhan pribadi dan rohani.

Tidak ada komentar: