Isu pelarangan ibadah terhadap kelompok agama minoritas terus berulang di Indonesia. Dari gereja yang tidak bisa dibangun meski sudah mengantongi izin, sampai rumah ibadah agama lain yang dipaksa tutup dengan alasan desakan warga, hingga beribadah di rumah sendiri yang digugat. Berita semacam ini datang silih berganti, menimbulkan kelelahan sosial dan meragukan komitmen demokrasi kita. Padahal, Indonesia secara konstitusi mengakui kebebasan beragama dan beribadah.
Lalu, di mana letak masalahnya? Bukankah kita hidup dalam sistem demokrasi?
Demokrasi Bukan Sekadar Mayoritas Menang
Sebagian besar masyarakat kita masih memahami demokrasi hanya sebatas “suara terbanyak”. Padahal, sebagaimana diingatkan Alexis de Tocqueville lewat konsep tyranny of the majority, mayoritas yang tak diimbangi kesadaran hak asasi dan perlindungan minoritas bisa berubah menjadi tirani baru: kehendak mayoritas menindas minoritas.
Itulah mengapa demokrasi modern menekankan dua hal:
✅ Prinsip mayoritas untuk menentukan arah kebijakan secara kolektif,
✅ Perlindungan hak-hak individu dan kelompok minoritas agar tak ada yang dikorbankan hanya karena berbeda.
Tanpa ini, demokrasi hanya melahirkan kekuasaan kelompok besar untuk memaksakan kehendak.
Kasus Pelarangan Ibadah: Cermin Tirani Mayoritas
Berulangnya pelarangan ibadah menunjukkan bagaimana suara mayoritas kerap digunakan untuk menjustifikasi pelanggaran hak mendasar warga negara. Alasan “penolakan warga sekitar” dijadikan pembenar pembubaran ibadah, tanpa mempertimbangkan konstitusi yang menjamin kebebasan menjalankan keyakinan.
Padahal, konstitusi dan hukum kita, mulai UUD 1945 Pasal 28E hingga UU HAM, menegaskan setiap orang berhak beribadah sesuai agamanya. Ini bukan sekadar norma, melainkan jantung demokrasi itu sendiri.
Demokrasi sebagai Jalan Tengah: Bagaimana Seharusnya?
✅ Menegakkan Supremasi Hukum
Negara harus hadir dengan menegakkan hukum secara tegas dan adil, bukan tunduk pada tekanan mayoritas lokal. Jika izin rumah ibadah sudah sah, maka negara wajib melindungi, bukan justru membiarkan penutupan atau intimidasi.
✅ Mendidik Budaya Demokrasi
Pendidikan kewarganegaraan harus menekankan bahwa demokrasi bukan hanya “suara terbanyak” melainkan juga penghormatan pada keberagaman. Tanpa kesadaran ini, pemilu demokratis hanya akan menghasilkan penguasa yang rentan menindas minoritas.
✅ Memperkuat Lembaga Penegak Hak Konstitusional
Peran Komnas HAM, pengadilan, dan Ombudsman perlu diperkuat agar setiap pelanggaran kebebasan beribadah cepat ditangani. Negara demokratis bukan hanya yang menggelar pemilu, tetapi juga yang cepat bertindak melindungi warganya.
✅ Membangun Dialog
Forum lintas agama di tingkat lokal hingga nasional harus aktif meredam konflik. Dialog terbuka membantu masyarakat memahami bahwa kebebasan beragama bukan ancaman, melainkan hak semua warga.
✅ Belajar dari Teori Minoritas
Seperti dikatakan Serge Moscovici, minoritas yang konsisten menyuarakan haknya dapat mengubah sikap mayoritas secara gradual. Dalam konteks ini, komunitas minoritas yang terus mengedepankan jalur hukum, dialog, dan kesadaran publik bisa jadi agen perubahan positif.
Penutup: Demokrasi untuk Semua, Bukan Hanya Mayoritas
Demokrasi yang benar akan menempatkan hak semua warga di atas segalanya. Kasus pelarangan ibadah seharusnya menjadi alarm bahwa demokrasi kita masih harus dibenahi, agar tak berhenti pada prosedur pemilu, tapi benar-benar menjamin kebebasan, keadilan, dan penghormatan atas keragaman. Hanya dengan demokrasi inklusif, kita bisa berharap konflik pelarangan ibadah berkurang, bahkan hilang.

Tidak ada komentar: