Ketika Kebahagiaan Tidak DitemukanBertrand Russell, filsuf besar asal Inggris, dalam karyanya The Conquest of Happiness (1930), menulis dengan jernih bahwa banyak manusia modern hidup dalam keadaan tidak bahagia bukan karena mereka kekurangan sesuatu, tetapi karena mereka terlalu sering membandingkan diri dengan orang lain.
Menurut
Russell, perasaan iri adalah sumber utama dari ketidakbahagiaan itu.
Iri tidak hanya membuat seseorang kehilangan rasa syukur, tetapi juga
menumbuhkan kebencian terhadap kebahagiaan orang lain.
Manusia yang iri seolah tidak bisa tenang melihat orang lain berhasil. Ia merasa bahagia hanya jika orang lain gagal. Dalam pandangan Russell, ini adalah bentuk penderitaan batin yang halus, sebuah racun yang menggerogoti kedamaian diri tanpa disadari.
Iri: Upaya Meniadakan Kebahagiaan Orang Lain
Russell menegaskan bahwa iri bukan sekadar keinginan untuk memiliki apa yang dimiliki orang lain, tetapi dorongan untuk meniadakan kebahagiaan orang lain. Ketika seseorang hidup dalam irinya, ia terjebak dalam lingkaran perbandingan tanpa ujung: selalu ada yang lebih cantik, lebih kaya, lebih berpengaruh, lebih dipuji.
Dalam keadaan ini, hidup tidak lagi menjadi perjalanan menemukan makna, melainkan lomba tak berkesudahan yang menguras batin. Dan semakin seseorang menilai dirinya dengan tolok ukur orang lain, semakin jauh pula ia dari ketenangan yang seharusnya menjadi dasar kebahagiaan sejati.
Keluar dari Pusat Ego
Namun Russell juga menawarkan jalan keluar. Ia mengatakan bahwa kebahagiaan datang ketika seseorang berhenti menjadikan dirinya pusat dari segala sesuatu. Orang yang bahagia, tulis Russell, adalah mereka yang hidup “secara objektif” yang mencurahkan diri pada sesuatu di luar dirinya: pekerjaan, cinta, pengetahuan, seni, atau kebaikan.
Dengan kata lain, kebahagiaan sejati bukanlah keadaan di mana semua keinginan pribadi terpenuhi, melainkan ketika perhatian kita beralih dari diri sendiri menuju dunia yang lebih luas. Ketika seseorang mencintai sesuatu di luar dirinya, ia berhenti terobsesi dengan perbandingan, dan justru mulai merasakan makna dari memberi, bukan sekadar memiliki.
Refleksi Kemanusiaan: Menerima Kebahagiaan Orang Lain
Russell mengajak kita untuk melihat kebahagiaan orang lain bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai penambahan cahaya bagi dunia ini. Dalam setiap keberhasilan orang lain, kita bisa belajar tentang potensi manusia yang juga ada dalam diri kita. Dengan begitu, kebahagiaan menjadi sesuatu yang bisa menular, bukan dikurangi.
Ketika kita berhenti iri, kita tidak kehilangan apa pun, justru kita memperoleh ruang dalam hati untuk menerima diri dan dunia sebagaimana adanya. Dan di situlah, kata Russell, kebahagiaan sejati mulai tumbuh, bukan sebagai hasil dari kemenangan atas orang lain, melainkan dari kedamaian dalam diri sendiri.
Penutup
Ketidakbahagiaan, dalam pandangan Bertrand Russell, bukanlah nasib, tetapi hasil dari cara kita memandang hidup. Selama seseorang masih terjebak dalam rasa iri, kebahagiaan akan selalu tampak jauh.
Namun ketika ia mulai mengarahkan pandangannya keluar, kepada kasih, kerja, dan cinta terhadap sesama, dunia menjadi lebih terang, dan dirinya pun ikut bercahaya.
Manusia yang iri seolah tidak bisa tenang melihat orang lain berhasil. Ia merasa bahagia hanya jika orang lain gagal. Dalam pandangan Russell, ini adalah bentuk penderitaan batin yang halus, sebuah racun yang menggerogoti kedamaian diri tanpa disadari.
Iri: Upaya Meniadakan Kebahagiaan Orang Lain
Russell menegaskan bahwa iri bukan sekadar keinginan untuk memiliki apa yang dimiliki orang lain, tetapi dorongan untuk meniadakan kebahagiaan orang lain. Ketika seseorang hidup dalam irinya, ia terjebak dalam lingkaran perbandingan tanpa ujung: selalu ada yang lebih cantik, lebih kaya, lebih berpengaruh, lebih dipuji.
Dalam keadaan ini, hidup tidak lagi menjadi perjalanan menemukan makna, melainkan lomba tak berkesudahan yang menguras batin. Dan semakin seseorang menilai dirinya dengan tolok ukur orang lain, semakin jauh pula ia dari ketenangan yang seharusnya menjadi dasar kebahagiaan sejati.
Keluar dari Pusat Ego
Namun Russell juga menawarkan jalan keluar. Ia mengatakan bahwa kebahagiaan datang ketika seseorang berhenti menjadikan dirinya pusat dari segala sesuatu. Orang yang bahagia, tulis Russell, adalah mereka yang hidup “secara objektif” yang mencurahkan diri pada sesuatu di luar dirinya: pekerjaan, cinta, pengetahuan, seni, atau kebaikan.
Dengan kata lain, kebahagiaan sejati bukanlah keadaan di mana semua keinginan pribadi terpenuhi, melainkan ketika perhatian kita beralih dari diri sendiri menuju dunia yang lebih luas. Ketika seseorang mencintai sesuatu di luar dirinya, ia berhenti terobsesi dengan perbandingan, dan justru mulai merasakan makna dari memberi, bukan sekadar memiliki.
Refleksi Kemanusiaan: Menerima Kebahagiaan Orang Lain
Russell mengajak kita untuk melihat kebahagiaan orang lain bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai penambahan cahaya bagi dunia ini. Dalam setiap keberhasilan orang lain, kita bisa belajar tentang potensi manusia yang juga ada dalam diri kita. Dengan begitu, kebahagiaan menjadi sesuatu yang bisa menular, bukan dikurangi.
Ketika kita berhenti iri, kita tidak kehilangan apa pun, justru kita memperoleh ruang dalam hati untuk menerima diri dan dunia sebagaimana adanya. Dan di situlah, kata Russell, kebahagiaan sejati mulai tumbuh, bukan sebagai hasil dari kemenangan atas orang lain, melainkan dari kedamaian dalam diri sendiri.
Penutup
Ketidakbahagiaan, dalam pandangan Bertrand Russell, bukanlah nasib, tetapi hasil dari cara kita memandang hidup. Selama seseorang masih terjebak dalam rasa iri, kebahagiaan akan selalu tampak jauh.
Namun ketika ia mulai mengarahkan pandangannya keluar, kepada kasih, kerja, dan cinta terhadap sesama, dunia menjadi lebih terang, dan dirinya pun ikut bercahaya.
Ketidakbahagiaan Menurut Bertrand Russell: Ketika Iri Menjadi Musuh Dalam Diri
Reviewed by Admin Brinovmarinav
on
15.33
Rating:

Tidak ada komentar: