Dalam keseharian, istilah orang dalam atau sering disingkat ordal sudah begitu akrab di telinga masyarakat. Ia muncul dalam berbagai bentuk—dari pelayanan administrasi di kantor pemerintahan, hingga urusan kecil seperti antrean di loket. Kadang dengan nada bercanda orang berkata, “Santai saja, ada ordal kok.” Namun di balik kelakar itu, tersembunyi budaya yang pelan-pelan menggerogoti keadilan sosial dan integritas pelayanan publik.
Budaya yang Menormalisasi Ketidakadilan
Masalah ordal bukan sekadar tentang orang yang mendapat prioritas. Lebih dalam, ordal menunjukkan betapa kita masih menoleransi ketidakadilan yang dibungkus dalam alasan “koneksi” atau “kenal orang dalam.”
Padahal, pelayanan publik seharusnya berdiri di atas prinsip kesetaraan. Semua orang, tanpa melihat siapa dia, harus diperlakukan sama. Tetapi ketika ordal masuk, prinsip itu runtuh. Prosedur bisa dipangkas, antrean bisa dilewati, dan hasil bisa dimanipulasi.
Akibatnya, masyarakat yang tidak punya “orang dalam” merasa terpinggirkan. Mereka melihat kejujuran dan kedisiplinan tak lagi menjadi ukuran utama. Lambat laun, lahirlah frustrasi sosial: orang jujur dianggap bodoh, sementara yang “punya koneksi” dipuji karena lihai mencari jalan pintas.
Dampak Psikologis dan Moral
Lebih dari sekadar urusan administratif, praktik ordal punya dampak psikologis yang mendalam. Ia menciptakan perasaan tidak berdaya di tengah masyarakat kecil. Banyak orang akhirnya berpikir, “Percuma ikut aturan kalau ujungnya yang dekat dengan pejabat juga yang menang.”
Dalam jangka panjang, kondisi ini melahirkan apatisme terhadap sistem negara. Kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah menurun, karena masyarakat tidak lagi melihat integritas, melainkan kepentingan.
Jika situasi ini dibiarkan, maka ordal menjadi semacam “pelumas sosial” yang justru memperlancar mesin ketidakadilan. Padahal, tanpa disadari, di sanalah bibit korupsi tumbuh. Korupsi besar selalu dimulai dari hal-hal kecil yang dianggap sepele—dari membiarkan satu orang menyalip antrean hingga mempercepat izin karena kenal seseorang di dalam.
Digitalisasi: Harapan untuk Mengikis Ordal
Ada secercah harapan ketika banyak instansi mulai beralih ke sistem digital. Antrean online, pendaftaran daring, hingga sistem pelacakan dokumen elektronik terbukti mampu menutup sebagian besar celah ordal.
Dengan digitalisasi, peluang manipulasi menurun karena semua proses terekam dan terukur. Tidak ada lagi alasan “saya bantu lewat jalur dalam,” karena sistem hanya mengenal data, bukan hubungan pribadi.
Namun, digitalisasi hanya efektif bila didukung oleh mentalitas baru.
Sebab, kalau pola pikir “asal kenal bisa dibantu” belum berubah, maka ordal tetap akan mencari jalan lewat pintu belakang. Teknologi bisa dibuat seolah transparan, tapi integritas manusialah yang menentukan kejujuran di baliknya.
Mengubah Pola Pikir: Dari Koneksi ke Keadilan
Perlawanan terhadap budaya ordal harus dimulai dari kesadaran moral masyarakat sendiri. Kita perlu menolak godaan “jalan cepat” yang merugikan orang lain. Jika kita menolak dilangkahi, maka kita pun harus menolak melangkahi.
Keadilan sosial tidak mungkin lahir dari sistem yang timpang. Ia hanya bisa tumbuh jika semua orang, dari petugas hingga pengguna layanan, memegang nilai yang sama: bahwa aturan dibuat untuk melindungi semua, bukan untuk memihak siapa pun.
Setiap kali seseorang menggunakan ordal, ada kepercayaan publik yang patah. Mungkin tampak kecil—sekadar membantu teman, mempercepat dokumen, atau memotong antrean—tetapi dampaknya menjalar ke seluruh sistem. Dan ketika keadilan publik rusak, maka negara kehilangan fondasi moralnya.
Penutup: Ordal, Cermin Diri Kita
Fenomena orang dalam sebenarnya adalah cermin bagi masyarakat kita sendiri. Ia memperlihatkan seberapa jauh kita menilai keadilan sebagai prinsip, bukan sekadar slogan.
Mungkin benar, tidak semua instansi memberi ruang untuk praktik ordal. Tetapi selama masih ada orang yang merasa “punya kenalan berarti punya kuasa,” maka ordal akan tetap hidup di ruang-ruang kecil pelayanan publik.
Keadilan tidak akan tegak hanya karena aturan, tetapi karena nurani yang menolak ketidakadilan, sekecil apa pun bentuknya.
Dan di situlah perjuangan melawan ordal dimulai—bukan di kantor-kantor besar, tapi di hati nurani kita masing-masing.

Tidak ada komentar: